Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia resmi menyandang gelar merdeka. Setelah mengalami perjuangan yang sangat panjang dan banyak memakan darah dan jiwa rakyat, akhirnya pada 17 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, secara diplomatik memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di hadapan rakyat. Merdeka dalam hal ini adalah pengakuan dalam pandangan formalitas di kancah Internasional. Namun, fenomena di lapangan menyajikan bahwa kata merdeka belum sepenuhnya dienyam oleh seluruh rakyat. Bahkan di pelosok negeri ini, kondisi rakyat Indonesia bisa dikatakan jauh dari kata merdeka. Sangat disayangkan apabila kondisi akar tak sebanding dengan pucuk daunnya. Tak ayal jika hal ini menjadi permasalahan pelik di ranah pemerintah. Permasalahan tentang kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kriminalitas, dan kemerosotan moral seakan menjadi asupan sehari-hari para pemegang kekuasaan di negeri ini.
Lantas, apakah yang menyebabkan berbagai permasalahan serius itu bisa terjadi? Jika kita mengolahnya lebih dalam, sebenarnya bukan hanya satu pihak tertentu saja yang patut menjadi dalang dari semua permasalahan itu. Mengapa? Pertama, jika kita menghakimi pemerintah adalah penyebab dari hal ini, itu tidak murni benar. Pasalnya, berbagai program telah diagendakan bahkan banyak yang sudah direalisasikan oleh pemerintah. Namun, apakah dengan mengagendakan lantas merealisasikannya saja cukup untuk rakyat? Tentu tidak. Segala upaya pengawasan seharusnya perlu dilaksanakan setelah agenda dan realisasi itu tercapai. Karena apa? Ibarat seorang ibu yang memberikan uang saku kepada anaknya. Seorang anak akan menggunakan uang itu dengan sesuka hatinya tanpa menghiraukan pengawasan dari ibunya. Seorang ibu tidak hanya sekadar memberi uang saku. Ia adalah pendidik pertama bagi seorang anak. Oleh karena itu, ia harus selalu mengecek digunakan untuk apa sajakah uang yang ia berikan kepada anaknya. Hal ini selaras dengan permasalahan kompleks antara pemerintah dan rakyat tersebut di atas.
Kedua, jika kita menghakimi rakyat adalah penyebab dari semua ini, itu pun tidak murni benar. Berbagai penunjang kesejahteraan yang hendak diterima oleh rakyat sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mengorganisir siapa saja yang akan mendapatkannya. Mengapa? Sering terjadi kasus salah tompo dari pemerintah kepada rakyat. Seperti dalam salah satu kebijakan pemerintah, yaitu penggunaan gas lpg tiga kilogram bagi rakyat miskin. Tidak jarang fenomena penyimpangan terjadi di negeri ini terkait peristiwa tersebut. Rakyat menengah ke atas justru melakukan pelanggaran ini dengan tetap menggunakan gas tiga kilogram. Padahal sudah jelas ketetapannya, jika gas tiga kilogram hanya diperuntukkan bagi rakyat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran dari rakyat sendiri dan kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan.
Mengapa kedua hal di atas bisa terjadi? Apa kaitannya dengan nilai-nilai kebangsaan yang ada di Indonesia? Hal inilah akan kita soroti saat ini. Menurut A. Ubaedillah (2015), nilai-nilai kebangsaan bersumber dari tiga aspek. Salah satunya yaitu kelima sila pancasila yang memuat aturan dan norma kehidupan berbangsa seseorang. Bentuk penyimpangan dari ketiga aspek itu bermacam-macam, mulai dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal sendiri berasal dari diri rakyat yang berperan sebagai objek. Sikap egois, individualis, dan kurangnya empati terhadap sesama sering kali mewarnai kehidupan rakyat. Padahal, negara di benua timur terkenal dengan kesopanannya. Sangat disayangkan apabila Indonesia yang termasuk di dalamnya justru menjadi pelaku pelanggaran norma-norma itu.
Sedangkan faktor eksternal sendiri berasal dari luar kekuasaan rakyat, seperti pemerintah, agen distribusi, dan lembaga negara lainnya. Penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah pun sering kali mewarnai interaksi pemerintah dengan rakyat. Istilah korupsi sering muncul dan terdengar di panca indera kita. Mereka yang gila dengan kekuasaan tak tanggung-tanggung dalam menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat. Hal ini sangat disayangkan mengingat pada tahun 2017 Transparansi Internasional pernah menyusun peringkat korupsi di 180 negara di dunia dengan basis penilaian terkait pelayanan publik di seluruh negara. Hasilnya adalah Indonesia berada di peringkat ke-96 dengan negara terkorup di Indonesia. Melihat data ini, kita bisa merenungkan berapa besar hak rakyat yang sudah dimakan oleh keegoisan petinggi negara.
Sebagai seorang pelajar, kita perlu mengantisipasi terjadinya hal-hal negatif di atas mulai dari sekarang, yaitu dengan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Menurut A. Ubaedillah, ada beberapa nilai-nilai kebangsaan yang perlu diterapkan dalam diri rakyat, khususnya pelajar dalam rangka penguatan nilai-nilai kebangsaan. Dari aspek pancasila sendiri yang pertama adalah nilai religisitas, yaitu nilai-nilai spiritual yang tinggi yang harus dimiliki oleh manusia Indonesia yang berdasarkan agama dan keyakinan yang dipeluknya dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain yang tumbuh dan diakui di Indonesia. Kedua, nilai kekeluargaan, yaitu mengandung nilai-nilai kebersamaan dan senasib dan sepenanggungan. Ketiga, niilai keselarasan, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dan keinginan un-tuk memahami dan menerima budaya dan kearifan lokal sebagai perwujudan dari nilai-nilai kemajemukan Indonesia. Keempat, nilai kerakyatan, yaitu sifat dan komitmen untuk berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dalam merencanakan, merumuskan dan menjalankan kebijakan publik, sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat dan bangsa yang berdaulat. Kelima, nilai keadilan, yaitu kemampuan untuk menegakkan dan berbuat adil ke-pada sesama manusia serta mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indone-sia. Untuk mewujudkan itu semua, perlu adanya keselaran dari pemerintah dan rakyat demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar merdeka.
Essay ditulis oleh Zu Almas Syifa
Senin, 10 Desember 2018