
SLEMAN – Dalam Simposium ARKIPELAGIS: Refleksi Kebudayaan yang dilaksanakan di Joglo GIK UGM pada Selasa (28/1/2025) lalu, Tim perumus Simposium ARKIPELAGIS telah menetapkan lima butir refleksi dan harapan, dalam rangka untuk memelihara eksistensi kebudayaan, sekaligus mempersiapkan masa depan kebudayaan di zaman teknologi yang akan semakin menantang.
Butir-butir ini tidak bermaksud untuk merangkum seluruh isi diskusi yang terjadi, melainkan sebagai bentuk penegasan atas semangat dan harapan yang dapat memandu kerja-kerja kebudayaan masyarajat agar menjadi lebih baik lagi ke depannya.
Adapun butir-butir tersebut antara lain, pertama, bahwa mendukung dan menyejahterakan kerja-kerja kebudayaan Indonesia sama pentingnya dengan memelihara atau memajukan situs-situs kebudayaan. Kedua, pentingnya untuk membangun kembali kesadaran kontekstual atas pengetahuan tradisional sebagai solusi relevan untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan di masa kini.
Ketiga, pendanaan kebudayaan harus diperluas untuk mencakup kerja-kerja jurnalisme kebudayaan, demi menjembatani kesadaran publik terhadap isu seni dan kebudayaan, serta memperkuat dialog antara masyarakat, pelaku budaya, dan kebijakan. Keempat, kemajuan kebudayaan perlu didasarkan pada perspektif intermaterial, anti-kekerasan, dan inklusivitas.
Dan kelima, pentingnya untuk selalu menekankan urgensi strategi kebudayaan. Dalam hal ini, secara konkret adalah menyusun arah kebudayaan. Arah kebudayaan bangsa Indonesia yang memiliki kesadaran arkipelagis akan berupaya menghindari jebakan penebalan identitas semata, namun mengambil upaya mencapai peningkatan kualitas kebudayaannya, memperluas indikator kebudayaan, hingga mengupayakan posisionalitas di hadapan dunia melalui diplomasi kebudayaan.
Tentunya kelima butir tadi tidak cukup hanya diucapkan secara lisan maupun tertulis saja, melainkan juga harus diaplikasikan dalam aspek kehidupan sehari-hari, sehingga kebudayaan akan terus melekat di sepanjang zaman, setiap generasi, dan setiap arus perubahan yang terjadi. (qin)