BANTUL – Meskipun sudah banyak diakui sebagai daerah dengan tradisi sastra yang paling kental dan juga konsisten, namun nyatanya hingga saat ini Yogyakarta masih belum memiliki satu wadah khusus, yang bisa digunakan sebagai tempat koleksi-koleksi sastra tersebut bersemayam, untuk dapat dinikmati oleh lintas generasi.
Topik inilah yang kemudian diangkat dalam sesi Wicara FKY di MCC Tepi Sabin, Pleret, Bantul, Rabu (16/10/2024).
Ya, keberadaan Museum Sastra masih menjadi sesuatu yang begitu diidam-idamkan oleh para pelaku Sastra di Yogyakarta, yang hingga saat ini kemungkinan baru dilakukan oleh satu-dua sastrawan saja, yang itupun hanyalah semacam koleksi pribadi, belum yang sifatnya secara kolektif.
“Teman-teman Sastrawan itu seharusnya memiliki imaji yang cukup luas (terkait rencana ingin membangun Museum Sastra). Karena kita tidak ingin Museum ini hanya dijadikan sebagai tempat untuk memindahkan teks-teks atau karya sastra, tapi lebih kepada bagaimana mereka berkolaborasi dengan para perupa, untuk bisa menghadirkan pameran atau museum yang berbarengan dengan karya seni lainnya,” ujar Esa Tegar Putra, salah satu pengisi acara dalam sesi Wicara FKY kali ini, Rabu (16/10/2024).
Esa pun menambahkan, bahwa kota Sastra sekelas Yogyakarta memang cukup penting untuk memiliki ruang sendiri untuk bersastra atau yang disebut dengan museum.
“Ya saya pikir ini (memiliki museum sastra) ini memang penting. Tapi ini bukan untuk membekukan memory menurut saya, tapi lebih kepada melihat masa lalu dan membayangkan kemungkinan yang terjadi di masa depan tentang sastra. Sehingga cukup penting untuk memiliki satu wadah khusus yang mengkaitkan itu semua,” tambah Esa.
Lebih jauh, keberadaan Museum Sastra juga bisa membantu menopang perekonomian masyarakat, termasuk Sastrawan itu sendiri. Karena pada akhirnya, karya-karya mereka akan bisa menghasilkan nilai-nilai baru lagi, baik itu dari segi historis, kegunaan, pengetahuan, dan bidang keilmuan lainnya. (qin)