BANTUL – Diskusi tentang para “legenda” di bidang Sastra kembali berlanjut di Pelataran Djoko Pekik, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Kamis (26/10/2023).
Diskusi kali ini membahas tentang sosok Umbuh Landu Paranggi, seorang sastrawan asal Sumba, NTT, yang banyak menggeluti dunia sastra di Yogyakarta. Sosok legendaris Umbuh Landu pun dibahas oleh dua orang sekaligus, yakni Fauzi Absal dan juga Ons Untoro. Keduanya juga kebetulan pernah berkolaborasi dengan beliau semasa hidupnya.
Tidak hanya membahas tentang sosok Umbuh Landu, keduanya juga turut membicarakan tentang perkembangan sastra di masa kini, sekaligus sepak terjang masing-masing di bidang kesusastraan.
Dalam pemaparannya kepada para peserta yang berasal dari kalangan SMA/sederajat tersebut, Fauzi Absal menggambarkan bahwa eksistensi seorang Umbuh Landu dapat tercipta berkat konsistensinya dalam menghasilkan karya, sehingga karya-karya tersebut kemudian bisa menginspirasi berbagai generasi di bawahnya, sampai dengan membawa perubahan dalam kehidupan sosial.
“Awal saya mengenal Umbuh Landu adalah ketika waktu itu saya menulis puisi saat masih sekolah di jurusan perindustrian. Nah kerennya adalah setiap saya mengirimkan puisi ke Pelopor Jogja (koran yang dikelola oleh Umbuh Landu, red), itu selalu dimuat di koran tersebut,” kata Fauzi Absal sambil tertawa, Kamis (26/10/2023).
Bahkan dalam sebuah pertemuan singkat di dekat Hotel Garuda, Fauzi Absal yang merupakan “murid” dari Umbuh Landu ini, tiba-tiba ditanya soal keberhasilannya yang selalu mengirimkan puisi dan juga selalu dimuat di koran Pelopor Jogja.
Tak disangka, pertemuan singkat selama kurang dari lima menit itu, menjadi pertemuan pertama sekaligus yang terakhir bagi Fauzi Absal, bersama seorang Umbuh Landu.
Pada suatu ketika, Fauzi juga pernah berhenti dari dunia sastra, karena ia tidak mendapat penghasilan atau honor, meskipun karyanya sudah dimuat di berbagai media massa. Pada akhirnya ia sempat memutuskan untuk beralih profesi menjadi pengrajin sepatu, mengingat hasilnya yang lebih pasti. Meskipun hal itu diakuinya tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Sedangkan pada kesempatan yang sama, Ons Untoro menuturkan bahwa sastra itu merupakan sesuatu yang tidak bisa serta-merta dipaksakan, namun juga tidak bisa menyesuaikan dengan mood atau perasaan hati. Karena jika hanya mengandalkan mood dalam bersastra, maka akan sulit untuk menciptakan karya secara konsisten.
“Mood itu dapat tercipta karena banyak membaca dan mengobrol, sehingga nantinya akan tercipta pemikiran untuk melakukan sesuatu atas hasil obrolan atau bacaannya tadi. Jadi yang namanya mood itu bukannya dicari di tempat sepi, tapi karena kitanya yang kaya akan pengetahuan karena banyak membaca, sehingga ide itu akan muncul dengan sendirinya,” ujar Ons Untoro.
Ons Untoro juga berpesan kepada para peserta diskusi, agar tetap konsisten membuat karya, tanpa harus menunggu adanya lomba. Karena dengan begitu, kita akan memiliki banyak stok karya, yang kemudian bisa disesuaikan lagi dengan tema yang diangkat ketika hendak mengikuti lomba di kemudian hari.
“Akan lebih baik jika kita sudah memiliki stok karya sejak jauh-jauh hari, tanpa harus menunggu adanya lomba. Sehingga ketika ada lomba, kita sudah siap dengan karya-karya yang sudah kita buat sebelumnya. Tinggal melakukan beberapa penyesuaian untuk dapat menyelaraskan dengan tema yang diangkat dalam lomba tersebut. Karena penulis itu tugasnya ya nulis. Bukannya nunggu ada lomba atau tidak,” tambah Ons Untoro.
Setelah puas mendengarkan diskusi dari Ons Untoro dan Fauzi Absal, para penonton yg berasal dari kalangan siswa/i se-DIY ini berkesempatan menyaksikan pertunjukan sastra berjudul “Kidung Misteri”, di lokasi yang sama. (qin)