BANTUL – Para pegiat Sastra tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama WS Rendra, seorang penyair terkemuka asal Sukoharjo, Jawa Tengah, yang telah menghasilkan begitu banyak karya, yang masih terus dikenang dan dibacakan sampai hari ini. Saking melegendanya seorang WS Rendra, banyak diskusi dan kegiatan yang membahas tentang sepak terjang beliau dalam berbagai kesempatan.
Salah satu pembahasan tentang WS Rendra juga terhelat dalam acara Diskusi Sastra “Meet The Legend”, yang merupakan salah satu rangkaian dari acara Daulat Sastra Jogja (DSJ) Temu Karya Sastra 2023, yang berlangsung di Kompleks Pelataran Djoko Pekik, Rabu (25/10/2023).
Diskusi tersebut turut menghadirkan Sastrawan asli Bantul yakni Fajar Suharno, yang juga pernah terlibat langsung melakukan kegiatan Sastra bersama seorang WS Rendra, pada medio tahun 70-an.
Dalam diskusi tersebut, Sastrawan berumur 78 tahun tersebut turut bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan sosok WS Rendra, serta pembelajaran apa saja yang ia peroleh setelah berkolaborasi langsung dengan WS Rendra.
“Saya sebenarnya cukup sering bertemu beliau ketika masih berkuliah di bidang sastra. Namun ketika saya memutuskan untuk terjun di Bengkel Teater akibat frustasi karena tidak bisa melanjutkan perkuliahan, disitulah saya mulai mengenal seorang WS Rendra secara lebih dalam. Setelah itu saya diajak jalan kaki dari Ketanggungan Wetan (lokasi Bengkel Teater binaan WS Rendra) menuju ke Parangtritis, dengan cara hening, alias tidak berbicara sama sekali,” ujar Fajar Suharno, Rabu (25/10/2023).
Selain itu, Fajar juga menambahkan, bahwa selama ia bekerjasama dengan Rendra, utamanya ketika bergabung di Bengkel Teater, ia mendapat tugas yang bisa dibilang tk lazim, yakni menjadi “keranjang sampah”.
“Keranjang sampah ini memiliki tugas diluar hal-hal yang formal. Yakni misalnya menyiapkan naskah, membuat naskah, entah itu dari tks buku yang sudah ada, ataupun mendengarkan Rendra berbicara tentang suatu dialog, lalu kemudian saya ketikkan. Seperti itu,” tambah Fajar Suharno.
Untuk dapat menumbuhkan kesadaran dalam bersastra bagi generasi muda, Fajar Suharno berpesan agar para generasi muda lebih berfokus pada pekerjaan utamanya, yakni menghasilkan karya, tanpa terlalu mempedulikan implikasinya seperti soal uang, hadiah, ketenaran, dll. Karena baginya, semua efek diatas merupakan bonus dari hasil kerja keras kita dalam menghasilkan karya demi karya secara konsisten.
“Meskipun peminat teater di zaman sekarang itu tidaklah terlalu banyak, tapi teater itu sendiri akan tetap eksis. Karena ketika anda harus tampil di depan kelas, kemudian anda harus merepresentasikan sesuatu, maka anda akan butuh keterampilan dan juga pengetahuan, agar bisa diterima oleh masyarakat. Mengingat teater sendiri sebenarnya juga bisa dilakukan dimana saja, tidak harus melalui pentas. Bahkan, setiap proses kehidupan yang kita lalui sehari-hari pun sudah merupakan proses berteater,” tambah Suharno.
Suharno pun meyakini, teater merupakan sarana yang baik untuk dapat menunjukan kapasitas seorang individu yang sebenarnya. Bahkan menurutnya, berakting diatas panggung dan disaksikan puluhan hingga ratusan orang (pentas) pun, tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan makna teater yang sesungguhnya.
Di tengah modernitas jaman, tentunya melakukan kegiatan Sastra bisa dilakukan dengan banyak cara. Sehingga menurut Fajar Suharno, tidak ada alasan bagi generasi muda zaman sekarang, untuk tidak mampu mengikuti jejak WS Rendra, tanpa harus melenceng terlalu jauh dari kaidah utama kesasatraan. (qin)