Anda berada di
Beranda > News > Warga Sipil Millenial Jogja Tuntut Perbaikan Sistem Pemilu Secara Menyeluruh

Warga Sipil Millenial Jogja Tuntut Perbaikan Sistem Pemilu Secara Menyeluruh

Pemilu masih dipahami sebatas hanya kegiatan mencoblos (memilih pemimpin) untuk lima tahun ke depan saja, padahal masih banyak aspek lain yang bisa digali dan lebih melibatkan masyarakat secara umum.

BANTUL – Meskipun sudah berlangsung secara rutin setiap 5 tahun sekali, nyatanya sistem Pemilu yang berlangsung di Indonesia masih menyimpan banyak kecacatan dalam berbagai aspek.

Hal itulah yang turut disampaikan Warga Sipil dari kalangan millenial kepada petugas Pemilu dalam acara “Suara Warga – Menata Ulang Regulasi Pemilu Yang Demokratis Dan Inklusif” yang digagas oleh Yayasan LKiS ( Lembaga Kajian Islam Sosial) yang berlangsung di salah satu hotel di kawasan Sewon, Bantul, Sabtu (18/10/2025).

Kegiatan ini turut mengundang beberapa stakeholder yang bertugas saat Pemilu 2024 lalu, baik secara daring (dalam jaringan — online) maupun luring (luar jaringan — offline). Diantaranya KPU DIY, KPU Bantul, Bawaslu DIY, Mahkamah Konstitusi RI, dan lain sebagainya.

Dalam pemaparannya, sejumlah warga sipil yang tergabung dalam beberapa organisasi ini, menyampaikan bahwa Pemilu yang telah berlangsung selama ini cenderung hanya bersifat formalitas dalam memilih pemimpin, alias hanya untuk prosedural mencoblos saja.

“Sejauh ini pendidikan politik dan demokrasi yang ada cenderung masih bersifat prosedural, jadi masih berputar di hal-hal teknis, seperti bagaimana proses pelaksanaan pemilu, proses mencoblos, dan seterusnya. Padahal masyarakat belum memahami bagaimana caranya untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara, bagaimana cara mereka menyuarakan aspirasi mereka, apa saja hak-hak yang bisa mereka lakukan (dan dapatkan) sebagai warga negara,” pungkas Tria salah satu anggota jejaring masyarakat sipil di Yogyakarta.

Dalam aspek partisipasi bermakna dalam pemilu, Firda Ainun dari Forum Remaja Nasional menyampaikan bahwa proses demokrasi yang terjadi selama ini terkesan tidak substantif sama sekali.

“Keterlibatan masyarakat hanya menonjol saat pemungutan suara saja, pemilu masih hanya dipahami sekedar kegiatan mencoblos atau memilih pemimpin (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk lima tahun ke depan, bukan suatu proses politik yang melibatkan warga sejak perumusan kebijakan hingga pengawasan pasca pemilu,” kata Firda di kesempatan yang sama.

Selain itu, menurut Firda, desain sistem pemilu dan penyusunan regulasi masih didominasi oleh lembaga penyelenggara dan partai politik, serta mekanisme konsultasi publik seringkali bersifat formalitas tanpa ruang dialog yang bermakna bagi masyarakat sipil.

“Sayangnya partisipasi masyarakat dalam perumusan visi-misi dan program calon masih begitu rendah, kandidat jarang melibatkan warga dalam penyusunan agenda politik, sehingga program kampanye seringkali tidak mencerminkan aspirasi publik, dan cenderung bersifat elitis (mementingkan penguasa). Sehingga kebanyakan gen Z (rakyat) lebih memilih untuk membuat forum sendiri agar memastikan aspirasi publik ini dapat tercapai.”

“Belum lagi pengawasan terhadap komitmen dan janji politik dari kandidat belum berjalan sama sekali, khususnya setelah kandidat tersebut berhasil terpilih. Masyarakat pun sampai saat ini belum memiliki saluran formal untuk menagih janji atau menilai kinerja pejabat terpilih, Itulah sebabnya belakangan ini kita sering melihat berita mengenai aksi ataupun demo masyarakat yang turun ke jalan, karena ketiadaan saluran formal tadi (untuk menagih janji politik), ” tambah Firda.

Adapun beberapa rekomendasi yang ditawarkan diantaranya melakukan penyusunan pendidikan politik yang komprehensif, inklusif, dan substantif, baik sebelum pemilu, selama pemilu berlangsung, dan setelah pemilu itu selesai (setelah pemimpin baru dilantik), agar bisa terus berkelanjutan. Serta menegaskan makna partisipasi substantif yang tidak hanya terjadi dibalik bilik suara, melainkan juga keterlibatan aktif dalam seluruh proses penyelenggaraan pemilu, mendorong pemerintah menyediakan ruang partisipasi warga, yang harus dimulai dari pra-pemilu, masa pemilu, dan pasca-pemilu, agar pemilu menjadi lebih demokratis dan inklusif, melalui ruang pertemuan antara warga dengan calon pemimpin maupun pemimpin daerah yang nantinya terpilih. (qin)

Artikel Serupa

Ke Atas