BANTUL – SPJ – Kelompok seni Sedhut Senut dalam waktu dekat akan menyelenggarakan kegiatan Milangkori Festival, kegiatan ini berupa festival sandiwara berbahasa Jawa di beberapa titik di Yogyakarta. Sebelum festival digelar digelar sejumlah kegiatan sejak Mei ini hingga Juli mendatang mulai dari pelatihan hingga lokakarya atas dukungan dana dari Indonesiana.
Kelompok Sedhut Senut adalah kelompok sandiwara berbahasa Jawa yang mulanya bernama Komunitas Sego Gurih. Kelompok ini berdiri sejak 1998 di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Bantul. Kemudian pada 2017 berubah nama menjadi Kelompok Sedhut Senut. Kelompok seni ini bisa dibilang sebagai referensi sekaligus percontohan terkait dengan esksistensi sandiwara berbahasa Jawa di Yogyakarta.
Ketua Kelompok Sedhut Senut, Fajar Murdiyanto mengatakan sandiwara berbahasa Jawa merupakan salah satu tradisi yang kini mulai redup eksistensinya di DIY. Itulah sebabnya, pihaknya mencoba membangkitkan kembali popularitas sandiwara berbahasa Jawa melalui Milangkori Festival yang akan diselenggarakan pada September mendatang.
Sandiwara berbahasa Jawa yang sempat tenar pada era 1970-an. Seiring perkembangan zaman, kesenian itu kian meredup, bahkan kalah pamor dengan seni tradisi yang juga sama-sama berbahasa Jawa, seperti ketoprak, wayang, dan jatilan, untuk itulah Kelompok Sedhut Senut berupaya mempolerkan lagi di era milenial ini.
“Secara konsep, ini adalah upaya kami untuk mentradisikan tradisi, karena untuk pegiat sandiwara bahasa Jawa itu masih sangat minim dan jarang. Masalahnya hanya pada geliat yang tidak terlihat,” kata Fajar dalam acara sarasehan bertajuk Posisi dan Eksistensi Sandiwara Bahasa Jawa dan Gaya Pertunjukan Kelompok Sedhut Senut yang digelar di pendapa Kelompok Sedhut Senut di Jalan Karangati, Dusun Jetis, Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Bantul, Rabu (3/5/2023).
Sarasehan dihadiri puluan orang yang pernah bersinggungan dengan dunia sandiwara berbahasa Jawa dan dari keluarga besar Kelompok Sedhut Senut, serta para pemerhati bahasa Jawa, diskusi mengadirkan narasumber seniman Ong Hari Wahyu dan akademisi seni Sri Kuncoro.
Dalam paparanya Ikus Sri Kuncoro lebih banyak menyinggung soal tumbuh kembang Kelompok Sedhut Senut yang dimuali dari rasa memiliki para pendirinya.
“Menggeluti dunia seni yang sepi dalam hal pendapatan itu diperlukan konsistensi dan perhatian yang dalam, harus senang dulu, karena senang itulah Kelompok Sedhut Senut itu dipelihara agar tetap hidup, kerja di tempat lain untuk mencukupi kebutuhan hidup, sisanya untuk menghidupi sanggar, ini yang terjadi pada kelompok sendi di Yogyakarta pada umumnya, apalagi kelompok seni sandiwara berbahasa Jawa seperti ini, yang melestarikan sedikit,” papar Ikun.
Menurut Ikun, secara kiprah, Kelompok Sedhut Senut itu semacam rumah untuk pulang setelah lelah bekerja di tempat lain.
“Yang menarik itu dalam kemasan pementasan sandiwara bahsa Jawa yang dilakukan Kelompok Sedhut Senut itu mengutamakan kesederhanaan, apa adanya, baik set maupun cerita. Ini yang membuat dekat dengan audiennya, maka dari itu pementasannya lebih memilih pentas langsung di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Ikun.
Ong lebih meilhat dalam penggunaan bahasa Jawa yang mudah diterima oleh para penontnnya.
“Ciri khasnya dalam pementasan Kelompok Sedhut Senut itu ya dalam pengambilan tema keseharian, masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Bahsa yang digunakan ya yang kita gunakan seharihari, kemudian di dukung set simple dan yang menjadi cirikhas ya geber atau tonilnya,” kata Ong.
Dalam amatannya khususnya mengenai pengambangan bahsa Jawa yang digunakan dalam pementasan Kelompok Sedhut Senut, menurutnya itu merupakan upaya prak praksis dalam menunjukkan ciri bahasa Jawa pada publik. Ini karena banyak yang mencoba beradu peran menggunakan bahasa Jawa namun dengan gaya Jakarta dan seterusnya.
“Kira-kira ke depan juga perlu dilakukan alih media dalam mengembangkan sandiwara bahasa Jawa, misalnya melalui media sosial, maupun dalam bentuk lainnya,” jelas Ong.
Fajar mengatakan dalam proses pelatihan menuju festival tersebut dipandu langsung oleh Kelompok Sedhut Senut dengan peserta yang sudah ditentukan sehingga pihaknya tidak menerima pendaftaran peserta umum. Ada delapan kelompok pesrta yang ditunjuk. Tujuannya supaya fokus dan tidak asal menggelar festival.
“Lokasinya juga kita serahkan kepada kelompok peserta mau di mana tempatnya, nanti dewan juri yang mendatangi langsung ke lokasi. Ini memang tidak lazim, biasanya festival digelar di gedung tertentu. Tapi ini lokasinya yang menentukan peserta,” ucapnya.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Hadi Sakijo ini mengatakan untuk tema besar festival adalah “anjajah desa milangkori”. Tetapi subtemanya akan diserahkan kepada desa-desa yang menjadi peserta. Bisa mengangkat tema tentang isu sosial di masyarakat, kehidupan sehari-hari, bahkan dinamika politik.
“Untuk temanya nanti kami bebaskan, tetapi yang biasa ditampilkan dalam sandiwara berbahasa Jawa itu tema realis. Seperti tentang realita masyarakat sehari-hari,” tandasnya.
Sebelum Festival Melankori atau puncak acara digelar, sudah ada pelatihan sandiwara berbahasa Jawa yang dipandu oleh Kelompok Sedhut Senut yang dilakukan di Gunungkidul, Bantul, dan Kota Jogja.
Sementara itu Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Bantul, Tri Jaka Suhartaka mengakui sejauh ini pihaknya belum pernah menggelar festival sandiwara berbahasa Jawa karena anggaran terbatas.
Pihaknya baru bisa menggelar festival teater dan ketoprak. Untuk festival sandiwara berbahasa Jawa yang memang belum banyak dilakukan sebenarnya sempat direncanakan untuk digelar pada 2019 lalu, tetapi pada 2020 terkendala Covid-19.
“Namun, untuk lokakarya sandiwara berbahasa Jawa pernah kami lakukan di Kalurahan Gilangharjo pada 2019 lalu,” katanya.
Karena sandiwara berbahasa Jawa masih belum familiar di masyarakat, pihaknya mendukung kegiatan tersebut digelar oleh Kelompok Seni Sedhut Senut.
“Maka kegiatan ini untuk menggugah kembali, Dinas juga akan menghidupakan sandiwara bahasa jawa. Karena bahasa Jawa sudah ditinggalkan generasi muda, sehingga perlu ada inovasi dalam melestarikan bahasa Jawa,” ucapnya. (TKS)