Anda berada di
Beranda > News > Mengangkat Pemikiran Hariani Santiko Mengenai Durga, The 11th Borobudur Writes and Cultural Festival (BWCF) 2022 Resmi Dibuka Hilmar Farid

Mengangkat Pemikiran Hariani Santiko Mengenai Durga, The 11th Borobudur Writes and Cultural Festival (BWCF) 2022 Resmi Dibuka Hilmar Farid

JAWA TENGAH – SPJ – Salah satu tujuan utama diselenggarakan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) adalah forum perhelatan untuk mengkaji ulang pemikiran-pemikiran penting para cendikia yang telah melakukan kajian serius dan ilmiah terhadap sejarah dan budaya nusantara kuno. Diharapkan dengan adanya forum ini, pemikiran-pemikiran tua yang tadinya terlupakan dapat terangkat kembali dan ide-idenya dapat menjadi inspirasi segar bagi kalangan akademisi, pelaku sastra kontemporer sampai pekerja seni kontemporer.

“Tahun ini BWCF secara on-line akan mengangkat pemikiran almarhum Prof. Dr. Hariani Santiko. Hariani Santiko adalah arkeolog penting di Indonesia namun mungkin namanya tidak begitu dikenal luas terkecuali di kalangan arkeolog. Hariani Santiko lahir di Pacitan tahun 1940 dan baru saja  wafat tahun lalu 2021. Hariani Santiko  mengabdi di jurusan arkeologi UI dan mengajar arkeologi klasik Hindu-Buddha. Kajian-kajian arkeologi yang dilakukan oleh Hariani Santiko di UI sangat dalam, karena menguasai bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno,” jelas Hilmar Farid dalam pembukaan acara di kanal Youtube BWCF (24/11/2022).

Disertasi Hariani Santiko yang dipertahankan tahun 1987: Kedudukan Batari Durga Di Jawa Pada Abad X-XV Masehi adalah disertasi yang sangat langka dan ditulis dengan standart ilmiah yang tinggi. Kultus terhadap Durga menurut  Hariani  Santiko merupakan  bagian  dari  kultus  dewi  ibu pada masyarakat agraris. Durga adalah ibu dunia (jagadamba) penyebab adanya nama dan rupa karena Durga adalah Sakti (kekuatan/tenaga) Siwa saat mencipta. Durga adalah pelindung manusia dari ancaman mara bahaya. Ia bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang ditimbulkan  oleh serangan musuh atau orang jahat. Durga sendiri berarti benteng atau ia yang memusnahkan kesulitan-kesulitan atau halangan.

“Disertasi ini penting karena menyajikan data dan analisa mengenai arca- arca Durga di Jawa Tengah dan Jawa Timur di zaman kuno. Disertasi ini sangat bermanfaat karena darinya kita bisa memahami salah satu unsur keagamaan terkuat yang pernah berkembang di Jawa kuno. Disertasi ini sifatnya internasional  karena  darinya  kita  bisa  memperbandingkan  dengan  Durga  di India kuno atau bahkan India sekarang atau Bali sekarang,” kata Seno Joko Suyono Kurator dan Pendiri BWCF.

Adalah fakta peninggalan arca Durga Mahisasuramardini (Durga pembunuh asura yang berwujud kerbau) sangat banyak jumlahnya di Jawa. Yang tertua diperkirakan berasal dari sekitar abad VIII masehi sementara yang termuda dari masa zaman Majapahit sekitar XV Masehi.

Selama kurang lebih 700 tahun segala produk-produk keagamaan yang berkaitan  dengan  Durga  mulai  arca, relief,  prasasti  sampai  kakawin-kakawin (puisi panjang) diproduksi di Jawa. Tak bisa dipungkiri secara estetis arca-arca Durga Mahisasuramardini yang ada di Jawa ini memiliki tingkat  artistik  luar biasa yang agak  berbeda dengan arca-arca Durga dan Kali di India.

Arca Durga Mahisasuramardini di Jawa sebagaimana diperlihatkan arca Durga bertangan 8 dari Candi Singosari yang kini disimpan di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden (duplikatnya ada di Museum Nasional Jakarta) rata-rata digambarkan berwajah cantik menawan dan berdiri tenang dengan dua kaki di atas punggung kerbau. Di India, Durga sering ditampilkan bersama wahananya berupa singa. Sang singa juga kerap disajikan ikut mencabik kerbau raksasa. Akan tetapi di Jawa pengarcaan Durga dan singa demikian jarang sekali dijumpai. Arca-arca Durga dari Jawa Timur bahkan menurut Hariani Santiko hampir-hampir tidak menampilkan adegan kekerasan.

Sama dengan India, Durga di Jawa juga membawa senjata atau benda seperti  cakra, pasa (tali), khadga (pedang pendek)   dhanu (busur), sangkha (siput), aksamala (tasbih), sula (tombak), gada, khetaka (perisai). Baik di India maupun Jawa, pengarcaan Durga Mahisasuramardini juga dikenal menampilkan visual    ardhaniskranta (sebagian tubuh terlihat) berupa terlihatnya sebagian tubuh asli asura muncul keluar dari kerbau perwujudan. Di Jawa, asura sering digambarkan muncul dari leher atau kepala kerbau dengan wujud   jauh lebih kecil dari Durga.

“Di Bali, pengarcaan Durga lain lagi. Lebih sederhana namun magis. Yang menarik di Bali sampai kini kisah mengenai Durga tetap terus hidup dalam kesenian rakyat seperti Calon Arang. Kultus terhadap Durga juga tetap berlangsung di beberapa pura Bali. Pura-pura tersebut  memiiki arca-arca Durga yang sangat sakral dan memiliki ritual-ritual khusus untuk memuliakannya,” ungkap I Made Damriyasa Rektor UHI.

“BWCF  mengundang  banyak  peneliti  Bali  yang  meneliti Durga. Sebagai Keynote speaker festival ini,   kami   memilih Ni Wayan Pasek Ariati Phd., yang merampungkan studi doktoralnya di Charles Darwin University, Australia  dengan  disertasi  mengenai  Durga  dan  dibukukan  dengan  judul: Journey of the Goddes Durga: India, Java and Bali. Beliau akan membuka perhelatan ini  dengan pidato kebudayaan mengenai perbandingan Durga di Jawa, Bali dan India.  Sementara para pembicara  lain dari  Bali  dari  Dr. I Wayan Budi Utama, Dr. Komang Indra Wirawan, D.r Wayan Jarrah sastrawan, Ida Bagus Made Baskara   sampai I Gde Agus Darma Putra akan membicarakan Durga   di Bali dengan rentang jangkauan tema yang luas mulai dari pembahasan prasasti di Bali yang menyebut Durga, kultus Shakti Siwa di pura-pura Bali sampai pembicaraan tentang rajah yang berkenaan dengan Durga,” papar Seno.

Tak hanya para arkeolog dan filolog dari Jawa dan Bali yang akan tampil di Festival On-Line BWCF kali ini. Kami juga mengundang para peneliti Durga dari India, Itali, Jerman, Perancis, Inggris, Amerika, Australia. Mereka akan membahas Durga dari sudut disiplin dan kajiannya masing-masing. Dr Stephen C. Headley, penulis buku: Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam, misalnya akan membicarakan bagaimana sebetulnya tanpa disadari sisa-sisa pemujaan Durga di masa lampau di Jawa Kuno masih meresap sampai sekarang dalam ritual-ritual tradisi Jawa sehari- hari di kraton dan pedesaan Jawa.

“Dalam bukunya Durga’s Mosque, Stephen Headley membicarakan secara panjang lebar ritual Sesaji Mahesa Lawung yang rutin digelar Kraton Solo sesungguhnya adalah sisa-sisa ritual pemujaan Durga. Selama ratusan tahun Kraton Solo memiliki upacara menanam kepala kerbau hitam di Hutan Krendowahono. Hutan Krendowahono dipercaya kraton sampai kini merupakan tempat bersemayamnya Bhatari Durga sebagai pelindung keraton dari arah utara. Di hutan itulah terdapat istana Durga yang tak kelihatan,” ungkap Diane Butler salah satu kurator acara.

Hampir tiap tahun, pada hari ke-40 setelah acara Grebeg Maulud, istana Solo akan menanam kepala kerbau hitam di Hutan Krendowahono. Bahkan saat pandemi ini upacara Mahesa Lawung, penanaman kepala kerbau hitam tetap dilaksanakan. Di masa pandemi ini, saat upacara Mahesa Lawung kraton meminta kepada Durga untuk senantiasa melindungi istana selama wabah.

Pembicara lain seperti  Dr Bihani Sarkar dari India akan membicarakan kultus Durga di India kuno; sementara Prof. Tapati  Guha-Thakurta, juga dari India akan membahas kultus Durga atau Durga Puja di Kalkuta di era modern ini. Akan halnya Dr Ambra Calo dari Itali akan membahas perspektif Tantrayana pada pemujaan Durga di Bali kuno. Sementara Dr Lydia Kieven dari Jerman akan mencoba melihat adakah unsur Durga dalam relief-relief Panji di Jawa Timur dan  Cecelia  Levin,  PhD dari Amerika akan membahas mengenai relief-relief Ramayana di Prambanan.

Selain rangkaian diskusi, bedah buku, lecture, dan sesi meditasi kami juga secara spesial dalam festival On-Line kali ini menampilkan Durga Dance Film festival. Para pemirsa dapat menyaksikan di kanal YouTube Borobudur Writers and Cultural Festival. Kami mengundang 9 koreografer, terrmasuk dari Thailand, Singapura, Malaysia menafsirkan tema Durga. Mereka membuat karya dengan mengambil   lokasi   situs-situs   yang   berkaitan   dengan   Durga   yang   ada   di daerahnya  masing-masing,  apakah  itu  candi-candi,  pura-pura  atau  kuil-kuil. Pada titik  ini tema Durga menjadi titik  tolak perayaan seni kontemporer Asia Tenggara.

“BWCF beranggapan merayakan disertasi Hariani Santiko setahun sesudah wafatnya adalah hal penting. Dari Candi Prambanan ini, kami berharap semoga kerja-kerja besar intelektual Indonesia berkaitan dengan heritage nusantara seperti yang dilakukan ibu Hariani Santiko ini bisa terus dibaca ulang dan menghasilkan karya-kaya kreatif lain,” pungkas Seno. (red).

Artikel Serupa

Ke Atas