Anda berada di
Beranda > News > Ngomong-ngomong Soal Dunia Digital

Ngomong-ngomong Soal Dunia Digital

“Sekarang itu eranya dunia digital 4.0”

“Kita semua harus segera beralih ke era digital, dan meninggalkan kebiasaan kita menggunakan analog”

“Dunia digital membuka kesempatan bagi semua orang untuk bisa berkarya dan mendapatkan penghasilan yang layak”

“Digitalisasi itu sangat penting untuk kelangsungan hidup di zaman modern ini”

Narasi-narasi seperti diatas mungkin sudah cukup jamak kita dengar belakangan ini. Dunia digital memang menjadi sebuah keniscayaan yang akan kita hadapi (katanya) di era modern saat ini. Kemunculan berbagai platform dan media sosial yang semakin marak akhir-akhir ini, membuat setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk membuat konten, dan tentu saja terkenal dari konten yang mereka hasilkan itu.

Seolah-olah digital adalah harapan baru bagi setiap orang.

Namun, apakah memang begitu adanya? Apakah benar bahwa dunia digital memang menjanjikan masa depan yang secerah itu?

Mungkin hal ini tidak begitu banyak orang yang menyadari, atau setidaknya belum banyak orang yang menyampaikannya.

Bahwa dunia digital itu (sebenarnya) sama saja sulitnya dengan dunia nyata yang sudah kita geluti selama bertahun-tahun lamanya.

Terlalu banyak pengkondisian yang harus kita patuhi, berbagai aturan (yang tidak kelihatan) yang patut kita jalani, apabila benar-benar ingin mencapai kesuksesan secara hakiki di dunia digital.

 

Mementingkan Kuantitas

Jika selama ini, kita sering dicekoki dengan frase, bahwa “kualitas itu lebih penting dari kuantitas”, sepertinya hal itu tidak begitu berlaku untuk dunia digital.

Kuantitas atau jumlah menjadi patokan utama dalam mencapai suatu kesuksesan di dunia digital. Banyaknya angka yang tertera di dashboard, adalah ukuran sah dalam menentukan bagaimana growing-nya suatu akun/person tertentu.

Mungkin banyak juga dari anda yang sering melihat konten-konten yang kelihatannya tidak penting, tidak bermutu, tidak berkualitas, tapi yang nonton/klik bisa sampai jutaan. Itu lah yang namanya kuantitas.

Pihak platform selaku penyedia wadah untuk berkarya, sama sekali tidak memusingkan apa yang anda sajikan di platform mereka (tidak selalu, tapi kebanyakan sih seperti itu). Yang terpenting bagi mereka adalah sebanyak mungkin orang yang berkunjung/berlama-lama di platform yang mereka sediakan. Sehingga dengan begitu akan semakin banyak kerjasama iklan yang akan masuk, dan semakin banyak pula pundi-pundi yang akan didapatkan.

Disitulah fitur-fitur berupa engagement seperti Like, Comment, Share, Save, dan sebagainya menjadi suatu patokan tersendiri. Karena ukuran kuantitas disana sangat dapat diukur, dan tentu saja bisa menjadi pembeda antara mana yang sudah terkenal di sosmed (dunia digital) ataupun belum.

Lagi-lagi, pihak platform tidak terlalu memusingkan konten apa yang disajikan di dalam platform yang mereka buat. Siapa saja bebas untuk berkreasi dan mengekrepesikan apa yang sedang mereka rasakan.

Sekilas memang narasi tersebut menumbuhkan harapan kepada semua orang, bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama, untuk bisa berkarya di dunia digital. Namun kenyataannya, “kesempatan” itu lebih berpihak kepada mereka yang nyeleneh, joget-joget gak jelas, atau mungkin menyebarkan informasi simpang-siur atau bahkan hoaks.

Jika anda berniat menyebarkan informasi yang baik, bermanfaat, atau memiliki value yang tinggi bagi masyarakat, ya bisa-bisa aja sih, hanya saja anda harus sedikit bersabar, karena poros “positif” seperti itu tidak terlalu banyak “peminatnya”, atau lebih tepatnya “tempat mereka berada masih cukup jauh untuk dijangkau”.

Sehingga, jika anda menginginkan yang sifatnya instan, atau cepat terkenal, anda cukup joget-joget, atau bikin postingan hoaks, prank, atau konten tipu-tipu lainnya, karena konten semacam itu jauh lebih cepat ditemukan keberadaannya di berbagai platform terkemuka, jika dibandingkan dengan konten yang sifatnya positif dan membangun.

 

Perang Dengan Algoritma

Adapun berbagai platform tersebut memiliki sistem kerja yang disebut sebagai “algoritma”. Algoritma ini menentukan bagaimana suatu akun/pihak tertentu bisa naik ke permukaan, atau muncul di beranda atau page one (halaman pertama) di platform tersebut. Sehingga akan memungkinkan untuk dilihat oleh lebih banyak orang secara bersamaan.

Namun balik lagi, untuk bisa nongol di beranda atau page one tersebut, anda harus berani melakukan sesuatu “di luar kebiasaan”, atau bahkan yang sifatnya nyeleneh. Khususnya jika anda menginginkan sesuatu yang sifatnya instan.

Algoritma dari berbagai platform seendiri rata-rata memiliki tujuan yang sama, yakni mengajak sebanyak mungkin orang untuk berlama-lama mengunjungi platform mereka. Karena dengan begitu akan menghadirkan traffic (lalu lintas pengunjung digital) yang bisa menghadirkan lebih banyak pengiklan.

Berbagai fitur tambahan pun diciptakan, agar membuat orang semakin betah mengunjungi platform tersebut lebih lama dan lebih lama lagi. Alias menjadi adiktif atau ketagihan.

Setiap platform digital tentunya memiliki pola masing-masing untuk mengatur bagaimana algoritmanya bekerja

 

Kurang Ramah Bagi Para Newbie (yang Serius)

Berbagai platform pun sejatinya diciptakan sebagai hiburan. Hiburan yang digunakan sebagai pelepas penat.

Mungkin jika anda menjadikan platform digital tersebut sebagai hiburan atau seru-seruan saja, sepertinya tidak akan jadi masalah.

Tapi jika anda benar-benar menjadikan platform digital sebagai sarana meraup pundi-pundi, mungkin anda harus sedikit bersabar. Karena mendapatkan uang dan keterkenalan (branding) di dunia digital itu cukup memakan waktu, dan tentu saja harus melalui berbagai aksi tertentu (yg konotasinya kurang baik) jika ingin meraihnya dengan kurun waktu yang lebih cepat alias instan.

Perlu waktu, kesabaran, dan tentu saja konsistensi, agar bisa merangsek naik ke suatu branding yang diinginkan, apalagi jika untuk pundi-pundi seperti yang selama ini sering disebutkan oleh para mastah di luar sana.

Masih kejauhan (banget), bro!

 

Makin Banyak Pengguna, Makin Sengit Persaingan

Dengan semakin banyaknya pengguna suatu platform, maka sudah pasti semakin ketat pula persaingan yang akan tercipta. Sekali lagi, apabila anda memang benar-benar serius menggelutinya. Anda harus memiliki karakter yang unik, dan berbeda dari orang-orang kebanyakan, atau setidaknya di Komunitas yang anda ikuti.

Kalau mau lebih cepat, ya tentu saja anda harus membuat konten yang sifatnya konyol, lucu-lucuan, seru-seruan, atau apapun yang sifatnya hiburan. Karena memang pada dasarnya orang membuka platform digital itu adalah untuk melepas penat dari berbagai aktivitas offline sehari-hari.

Lantas, bagaimana kalo kesehariannya sehari-hari adalah di depan layar gadget seharian? Apa dong yang menjadi pelarian aktivitasnya?

Dunia Digital, Semakin Banyak Menciptakan Generasi “N”

Massif-nya perkembangan dunia digital, juga semakin mencipatakan generasi baru, yakni generasi “N”, alias generasi “Nunduk”. Kalaupun tidak nunduk, ya minimal “menatap layar” dalam kurun waktu yang cukup lama.

Bahkan bisa dibilang, lebih dari setengah waktu kita dalam sehari telah dihabiskan untuk menatap layar atau menunduk demi memproduksi segala sesuatu di dunia digital.

Bisakah dibayangkan, bagaimana masa depan generasi ini di kemudian hari? Apabila terus-terusan bergantung pada layar monitor atau hape setiap harinya.

Bisa saja, banyak orang yang sudah sakit “sebelum waktunya”, karena terlalu banyak menunduk dan duduk dalam waktu yang sangat lama setiap harinya.

 

Digital Adalah Masa Depan, Masa Depan Yang Tidak Pasti

Ngomong-ngomong soal masa depan. Which is sesuatu yang sangat tidak pasti. Maka begitulah adanya dengan dunia digital.

Asal tahu saja, perputaran dalam dunia digital itu terjadi sangatlah cepat. Bisa jadi mereka yang baru saja belajar sesuatu yang baru, tiba-tiba saja hal tersebut sudah lekas pergi begitu saja.

Di akhir dekade 2000an, sedang nge-trend-nge-trendnya Sony Ericsson, dengan hape yang memiliki fitur kamera. Dan semua orang pun berlomba-lomba untuk memiliki hape kamera tersebut, tiba-tiba saja fitur ini menjadi semakin canggih, semakin tajam gambarnya, dan tentu saja semakin mahal harganya.

Sedangkan bagi mereka yang masih belajar menggunakan hape Sony Ericsson, sepertinya harus segera gigit jari, karena hape tersebut sudah tidak lagi diproduksi. Dan bagi mereka yang mungkin belum menguasai fitur kamera ini, akan cukup sulit untuk langsung bisa switch ke hape yang lebih canggih, jika yang lama saja masih sulit dikuasai. Terutama bagi generasi-generasi lama yang sudah terbiasa dengan pola hidup konvensional.

Belum lagi dengan hadirnya hape yang menggunakan layar sentuh (touch screen). Hape jenis ini menjadi sangat booming dan menjadi trending topic yang cukup lama pada awal kemunculannya. Seolah ada kesan “wah” ketika itu, karena hanya dengan menyentuh layar, semua yang diinginkan bisa keluar dengan cepat.

Bagaimana dengan generasi “jadul” yang sudah terbiasa dengan mesin pager, atau telpon umum atau bahkan Wartel, yang menggunakan tombol untuk mengoperasikannya.

Banyak orang-orang tua yang cukup amaze sekaligus tidak percaya pada saat itu, kalau telah muncul teknologi baru yang bisa kita sentuh layarnya sesuka hati dan muncul semua perintah yang kita inginkan.

Di saat yang bersamaan, muncullah media sosial dengan segala keunikannya pada saat itu, yang menjadi salah satu perubahan yang cukup massif di dunia digital. Media sosial sendiri adalah suatu platform yang dapat menghubungkan banyak orang dari berbagai penjuru dunia, dengan berbagai fitur yang dimiliki.

Di Indonesia sendiri diawali dengan kemunculan media sosial Friendster, yang cukup ngetrend di pertengahan tahun 2000-an. Ketika banyak orang mulai mengenal dan mencoba membuat Friendster, tiba-tiba saja muncul lagi media sosial berikutnya bernama Facebook, buatan Mark Zuckerberg.

Facebook kemudian langsung mengalahkan Friendster, karena tampilannya yang lebih menarik serta mampu mengubungkan lebih banyak orang sekaligus. Fitur-fiturnya pun jauh melebihi apa yang dimiliki oleh Friendster.

Akhirnya, orang pun mulai mencoba untuk langsung beralih ke Facebook, padahal Friendster belum sepenuhnya dikenali oleh para penggunanya.

Begitu pun seterusnya dengan kemunculan Instagram, Line, BBM milik Blackberry, WhatsApp, Telegram, sampai akhirnya YouTube dan TikTok, yang sekarang cukup mendominasi jagat platform digital di dunia.

Semua platform itu akan datang dan pergi. Masing-masing mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri. Dan tentu saja juga punya algoritma dan cara kerja yang berbeda-beda.

Mereka yang memiliki database akun terbanyak, disitulah mereka yang akan memenangkan persaingan, dan bisa menjadi kaya raya dari sana.

Namun tidak menutup kemungkinan, platform-platform raksasa seperti YouTube maupun TikTok pun bisa saja lenyap suatu hari nanti. Kita semua tidak ada yang tahu. Karena memang tidak ada pasti dalam masa depan.

 

Pola Perilaku Manusia Digital

Manusia-manusia digital di jaman sekarang bisa dibilang sangatlah bersifat individualis. Cepat marah/emosi, dan mungkin juga terlalu baperan.

Mengingat waktu kita banyak dihabiskan untuk mengkonsumsi berbagai konten yang ada di dunia digital, maka pola perilaku kita pun sudah cenderung mengikuti apa yang diajarkan oleh para pembuat platform tersebut.

Secara kognitif memang manusia menjadi lebih cerdas dengan kehadiran teknologi. Namun di sisi lain, unsur afektif atau emosionalnya menjadi begitu lemah. Hal ini cukup tampak pada keseharian, dimana membully, menghina dengan terang-terangan di media sosial, perilaku kekerasan, hingga karakter seksual menyimpang, tak lagi menjadi hal yang tabu atau bahkan malu untuk diperlihatkan. Tanpa disadari, hadirnya berbagai platform digital membuat banyak generasi penggunanya menjadi manusia yang manipulatif, seolah-olah tidak sesuai dengan kenyataannya.

Ada pula sifat-sifat lainnya seperti kecanduan, tidak pernah puas, selalu pengin lebih (mungkin bisa disebut juga “tidak pernah bersyukur”), dan emosi yang cenderung meledak-ledak.

Penyakit-penyakit instan tersebut menjadikan beberapa sifat manusia menjadi semakin berubah, dan semakin jauh dari karakter asli manusia yang kita kenal selama ini.

Lantas bagaimana jika sejak kecil sudah dimanjakan dengan berbagai macam teknologi digital seperti itu? Bisa saja, jalan hidup mereka sudah semakin melebar kemana-mana, dan mungkin saja perangkat gadget atau smartphone akan jadi kekasih hatinya, daripada kekasih yang sesungguhnya yakni manusia.

——————————————————————————-

Tidak ada sama sekali maksud negatif dengan berbagai platform maupun perangkat digital yang sudah menemani hari-hari kita belakangan ini. Semua itu pasti memiliki sisi positif maupun negatifnya masing-masing. Sehingga kita harus pintar-pintar dalam menggunakannya, dan memaksimalkan potensi yang ada di dalamnya.

Karena pada intinya, teknologi hadir untuk memudahkan kerja kita sehari-hari. Bukan untuk menggantikan ataupun membuat kita lupa dengan hidup kita sebagai manusia seutuhnya, yang tetap harus memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia, begitu pun dengan sang pencipta.

Jangan sampai kemunculan teknologi maupun platform digital malah merusak itu semua. Karena digital juga tidak selamanya awet. (qin)

Artikel Serupa

Ke Atas