Anda berada di
Beranda > Opini > Ketika Passion Berubah Menjadi Pressure

Ketika Passion Berubah Menjadi Pressure

Mantan pembalap MotoGP asal Spanyol, Jorge Lorenzo, dalam suatu wawancara di masa aktif-nya sebagai pembalap mengatakan, bahwa ia sangat bermimpi menjadi juara dunia MotoGP, ajang balap motor terbesar di seluruh dunia.

Alhasil, sampai akhir karier-nya sebagai pembalap professional, ia sukses memenangkan total 5 gelar juara dunia balap motor tersebut. Dua title di kelas 250 cc tahun 2006 dan 2007, serta kelas utama MotoGP atau kelas 800 dan 1.000 cc pada tahun 2010, 2012, dan 2015. Jika kita melihat track record tersebut, sudah jelas terlihat bahwa Jorge Lorenzo adalah pembalap yang sukses.

Tapi percayakah anda, bahwa Jorge Lorenzo sebenarnya tidaklah begitu menikmati proses-nya menjadi seorang juara dunia kompetisi adu balap motor tersebut. Banyak sekali tekanan yang diberikan kepadanya, yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Terlebih dengan statusnya sebagai seorang juara dunia, membuat label “sukses” itu terus melekat pada dirinya.

Padahal, ia sudah memulai karier sebagai pembalap motor sejak usia tiga tahun. Usia yang masih sangat lucu-lucunya. Tapi anak ini dengan sangat berani mengambil langkah untuk menjadi seorang pembalap motor. Sesuatu yang sudah pasti timbul dari keinginan Jorge Lorenzo seorang diri, tanpa adanya paksaan atau perintah dari siapapun juga, termasuk orang tuanya sendiri.

Seiring waktu berjalan, passion atau kegiatan favorit yang disukai Jorge ini, berubah menjadi sesuatu yang sangat menekannya setiap hari.

Keharusan untuk menjadi yang terdepan alias finish pertama, kemudian men-drive Jorge menjadi seorang yang sangat perfeksionis. Selalu ingin sempurna dalam setiap kesempatan balapan.

Akhirnya, terciptalah sebuah pressure atau tekanan, yang memaksanya untuk selalu perform sebaik mungkin di setiap race. Jika tidak perform, pintu keluar sudah terbuka untuknya.

 

Perubahan Perilaku Zaman

Mungkin emang dasar perubahan zaman juga kali yaa, dimana Jorge Lorenzo yang lahir pada tahun 1987 ini, tumbuh sebagai generasi muda dimana teknologi mulai bermunculan dimana-mana. Sehingga membuat kehadirannya di dunia balap sangatlah disorot oleh publik. Sekali tidak berprestasi, tekanan pasti akan langsung muncul di hadapannya. Tidak peduli seberapa hebat dirinya di masa lalu.

Akhirnya, Jorge Lorenzo memutuskan berhenti dari dunia balap yang telah membesarkan namanya, di usia 32 tahun, pada tahun 2019 lalu. Usia yang masih terbilang muda untuk ukuran pembalap professional. Apalagi jika dibandingkan dengan salah satu pesaingnya, Valentino Rossi, yang masih aktif membalap sampai di usia 42 tahun. Namun lagi-lagi, kita tidak bisa begitu saja membandingkan pencapaian setiap individu. Karena memang setiap karakter itu unik, dan diciptakan dengan porsi ceritanya masing-masing.

Dalam pernyataannya saat memutuskan berhenti tersebut, Jorge berkata dengan gamblang, bahwa ia sudah tidak lagi menikmati profesinya sebagai pembalap professional. Selain ia sudah terlalu banyak jatuh dan cedera parah, ia juga sudah tidak lagi mampu mencapai target yang dibebankan oleh timnya. Lagi-lagi, passion-nya di masa kecil itu berkembang biak menjadi pressure, ketika sudah digeluti secara professional. Kesenangan itu pun pelan-pelan juga pasti akan sirna.

Pertanyaannya kemudian, kenapa bisa begitu? Apa yang sebenarnya terjadi pada Jorge Lorenzo? Well, itu bukanlah bahasan utama pada artikel ini.

Yang jelas, pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah, apakah passion bisa selamanya menjadi passion tanpa melibatkan pressure? Apakah pressure dengan passion itu sesuatu yang saling bertolak belakang dan tidak bisa bentrok satu sama lain? atau malah sebaliknya saling terikat dan tidak bisa dilepaskan begitu begitu saja?

Apapun itu, passion dan pressure adalah dua hal yang tidak bisa lepas satu sama lain. Passion tidak bisa selamanya menjadi passion alias sesuatu yang sifatnya menyenangkan, pressure pun tidak melulu selamanya sebuah pressure atau sesuatu yang sifatnya terus-menerus ditekan oleh pihak lain, yang konotasinya biasanya cenderung negatif. Bahkan tidak sedikit yang justru merasa tertantang atau senang dengan adanya pressure, yang dapat membuatnya menjadi individu yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Semua itu sebenarnya balik lagi ke masing-masing individu. Bagaimana dia memperlakukan passion dan pressure yang ada di dalam hidupnya, untuk kemudian diolah menjadi sebuah energi yang either bisa positif atau juga negatif.

Karena passion itu biasanya identik dengan sesuatu yang fun (asyik), menyenangkan, membangkitkan gairah, dan sejenisnya, maka passion sering dianggap sebagai sesuatu yang positif adanya.

Kebalikannya dengan pressure, yang sering dicap negatif. Karena membuat orang jadi terpaksa melakukan suatu hal, atau bahkan cenderung ogah melakukannya. Atau mungkin tetap dilakukan dengan tergesa-gesa sambil memegang prinsip “yang penting kerjaan gue kelar”.

Padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Passion, jika hanya berupa passion, mungkin membuat hidup anda tidaklah berkembang, alias stuck. Ya disitu-situ aja.

Kecuali kalau anda berniat menjadikan passion anda itu menjadi sesuatu yang lebih serius dan dapat menghasilkan cuan untuk anda. Maka mau tak mau, suka tidak suka, pressure itu pasti akan mengiringi passion yang anda miliki tersebut.

Semakin tinggi stage yang anda gapai di dalam passion tersebut, sudah pasti pressure-nya akan semakin besar. Dan akan semakin banyak orang yang notice diri anda di bidang tersebut. Akhirnya, passion itu seperti pelan-pelan ditinggalkan, yang kemudian berkembang menjadi pressure yang tiada henti.

Salahkah hal tersebut? Well, sebenanrnya tidak ada yang perlu disalahkan. Sah-sah saja hal itu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Hanya saja hal ini memang tidak banyak orang ketahui dan renungi lebih dalam. Mereka membiarkan diri mereka tenggelam di dalam pressure yang terus-menerus datang tak berkesudahan. Akibatnya pikiran mereka pun tidaklah jernih (larut dalam pressure negatif), dan langsung memberi label bahwa hidup ini penuh dengan tekanan dan lain sebagainya.

Pesan penting untuk anda yang sudah tenggelam dalam lautan pressure. Keluarlah! jangan biarkan dirimu tenggelam di dalamnya.

Keluar disini tidak mesti harus menemukan passion baru di bidang yang lain. Tapi keluar disini maksudnya adalah coba untuk pikirkan kembali, sejauh apa langkah yang sudah ditempuh sampa sejauh ini. Apakah worth it? Apakah dapat bertumbuh dan meng-improve skill anda, atau hanya segudang perintah tak berkesudahan yang membuat anda lupa dengan hidup anda sendiri, sehingga hidup anda hanya dihiasi oleh rutinitas pressure, pressure, dan pressure yang sifatnya negatif dan mengganggu stabilitas hidup anda.

Siapapun anda hari ini, apapun passion maupun pressure yang anda miliki pada saat ini, yuk saatnya bertumbuh, dan keluarkan potensi terbaik yang ada di dalam diri anda. Sekalipun itu harus melalui segudang pressure sekalipun.  Jika pressure itu justru mampu membuat anda menjadi pribadi yang lebih baik, bukankah itu artinya pressure juga dapat berdampak positif bagi orang yang mengalaminya?

Sekali lagi, it’s all about mindset and the way of thinking about something. (qin)

Artikel Serupa

Ke Atas