Anda berada di
Beranda > Opini > Jadi Misqueen Kok “Bangga”?

Jadi Misqueen Kok “Bangga”?

“Saya kan rakyat miskin, jadi saya mestinya pantes dapet bantuan dari pemerintah”

“Apalah kita ini cuman rakyat kecil. Gak ngerti kita kalo yang begituan.”

“Aduuh gimana ya? Itu kan gak cocok untuk orang miskin seperti saya”

Kalimat-kalimat tersebut serta kalimat sejenis lainnya, mungkin sudah sering anda dengar di media televisi maupun di kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya kemudian, kenapa mereka seolah-olah bangga dengan label miskin yang mereka miliki tersebut.

Bukan bermaksud untuk melecehkan orang miskin, atau menghina nasib yang mereka alami. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Namun, kenapa mereka tidak segera mengubah nasib mereka, untuk bisa memiliki taraf ekonomi yang lebih baik, dan tidak lagi mengikuti program-program yang ditujukan untuk orang misqueen tersebut.

Percayalah, kawan, di zaman sekarang ini, jadi misqueen sangatlah tidak enak. Kebutuhan sehari-hari semakin menggunung alias bertambah, sementara uang yang didapatkan tidak banyak bertambah, bahkan cenderung stagnan. Skill yang kita miliki untuk mendapatkan uang tersebut juga hanya begitu-begitu saja.

Dunia terus berubah secara massif dan cepat. Sedangkan proses adaptasi kita terhadap perubahan tersebut, bisa dibilang masih sangat buruk. Kita masih begitu terpaku dengan pakem-pakem lama, stigma-stigma lama, dan aturan-aturan lama yang pelan-pelan sudah tidak begitu relevan lagi di jaman saat ini.

Dengan persaingan yang begitu ketat untuk bisa meraup rupiah, standarisasi untuk mendapatkannya menjadi semakin sulit. Kita tidak bisa lagi mengandalkan cara bekerja lama, bahkan untuk mendapatkan hasil yang sama, seperti layaknya 10-15 tahun yang lalu, atau bahkan lebih.

Ketika semuanya menjadi semakin sulit dan berubah begitu cepat, akan banyak orang yang bilang “Sekarang semua kerjaan itu nggak ada yang enak ya”.

Kalimat itu seolah menjadi pembenaran, atas ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan perubahan zaman, yang tentunya membutuhkan tenaga-tenaga yang mampu beradaptasi dengan cepat, bergerak dengan cepat, dan mampu merespon segala sesuatunya sebaik mungkin.

Kalimat itu pun lebih sering terdengar dari para orang-orang tua, yang memang sudah “kalah telak” dari anak-anak muda, yang masih memiiki jiwa yang segar dan semangat yang membara, untuk dapat meraih sesuatu, yang sudah pasti akan sangat sulit digapai oleh generasi pendahulunya.

Yang dulunya kaya raya saja, mungkin akan berubah menjadi misqueen pula, ketika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan situasi.

Salah satu hal (yang menurut saya) cukup konyol adalah, ketika para orang misqueen ini seperti berlomba-lomba mendapatkan bantuan dari pemerintah. Seperti misalnya program Beras miskin, THR, atau yang paling baru adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang menjadi buah bibir pada periode awal Covid-19 lalu.

Bukan berarti itu merupakan sesuatu yang salah. Hanya saja, cara mereka untuk mendapatkannya, yakni dengan berdesak-desakan, saling dorong, saling sikut, bahkan sampai ada yang menghina-hina pihak panitia (pemerintah), adalah hal terbodoh yang dilakukan oleh orang misqueen di luar sana. Dan perilaku itu sudah benar-benar mencerminkan jiwa misqueen mereka, yang memang sangat layak untuk diberikan “pertolongan”.

Sebenarnya, kondisi misqueen mereka sangatlah bisa diubah, jika mereka mau bergerak, mau berusaha, tidak hanya diam di tempat atau menerima keadaan mereka sekarang, dan tentu saja menghilangkan sifat-sifat misqueen mereka di hadapan umum, karena hal itulah yang sesungguhnya lebih berbahaya.

Jika hanya misqueen secara harta, maka kehadiran sejumlah uang akan dapat menyelamatkan nasib hidup anda. Tapi jika yang misqueen adalah jiwanya, karakternya, dan kebiasaannya. Itu akan menciptakan kemisqueen-an yang permanen di hidup anda.

Sifat misqueen tidak melulu berkaitan dengan harta (walaupun seringkali mengarah kesana), tapi lebih pada ketidakinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, atau beradaptasi dengan situasi yang baru. Lalu ketika semuanya sudah tidak sesuai dengan kehendaknya, maka ia akan suka menyalah-nyalahkan orang lain (yang lebih hebat darinya), menyalahkan lingkungan, atau bahkan menyalahkan perubahan zaman.

Sungguh misqueen sekali orang-orang seperti itu.

 

Yang Kaya Makin Kaya, Yang Misqueen Makin Menderita

Anda pasti sudah cukup sering mendengar kalimat judul diatas. Ya, itu semua menjadi sebuah jargon yang bernada “sindiran”, karena memang sudah cukup umum terjadi di kehidupan sehari-hari, termasuk di Indonesia.

Jargon itu sendiri terjadi bukanlah tanpa alasan. Semua ada latar belakang di dalamnya.

Orang kaya, yang kerap didefinisikan sebagai kaya harta, seperti mobil, rumah (bertingkat), dan bahkan asset dengan nilai yang gila-gilaan, umumnya sudah memiliki pengetahuan terhadap keuangan termasuk cara mendapatkannya dari berbagai sumber. Mereka tidak puas hanya dengan satu sumber penghasilan saja, yang itupun juga belum tentu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, yang semakin hari terus bertambah.

Orang kaya itu terus bergerak, terus berusaha mencari keuntungan di tempat-tempat yang berbeda. dan yang lebih essensial lagi adalah, mereka tidaklah hidup hanya menjadi “karyawan” atau bawahan untuk orang lain. Itu merupakan posisi yang sangat tidak disukai oleh para orang kaya. Karena mereka ingin memiliki kuasa, mendapatkan wewenang atas sesuatu, dan tentu saja menjadi penentu kebijakan atas suatu hal.

Pantas saja seorang yang memiliki jabatan tinggi, gajinya jelas lebih tinggi daripada mereka yang menjadi bawahannya. Karena memang menjadi orang kaya itu jelas tidak bisa sembarangan. Butuh ilmu yang dipelajari secara konsisten di dalamnya.

Nah bagi para orang misqueen, mereka seringkali tidak bergerak dari posisinya sebagai karyawan, alias “babu”. Dan (mungkin) mereka senang-senang saja diperintah ini dan itu, layaknya anak sekolah yang disuruh mengerjakan PR oleh gurunya.

Padahal, untuk menjadi karyawan saja di zaman sekarang menjadi semakin sulit. Semakin banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebanyak mungkin, dalam waktu yang yang secepat-cepatnya. Balik lagi, standarisasi untuk bisa bertahan di posisi yang sama saja, menjadi sangatlah sulit. Kita bahkan harus tetap berubah, hanya untuk bisa bertahan di posisi yang sama, yang itupun sama tidak enaknya dengan zaman anda muda dulu.

Seperti kata banyak motivator di luar sana. Orang kaya (sukses) itu mencari solusi dari suatu masalah. Sedangkan orang misqueen (gagal) itu kerap mencari masalah (alasan) dari ribuan solusi yang tersedia. Ya pantas saja anda tetap misqueen sampai sekarang.

Jangan harap taraf hidup anda akan menjadi lebih baik, apalagi kaya raya bagaikan konglomerat, jika karakter anda masih seorang peminta-minta seperti halnya mereka yang berebut bantuan dari pemerintah.

Jika anda memang seorang yang pantas mendapat bantuan, maka tanpa meminta-minta pun, seharusnya anda akan tetap mendapatkannya, dengan cara yang lebih elegan dan berkelas. Bukan dengan meminta-minta apalagi mendorong sesama orang misqueen lainnya.

Misqueen itu tercipta, bukan hanya karena dirinya kekurangan harta, tapi juga kurangnya sifat-sifat elegan dan berkelas, yang dapat membuatnya “naik level”.

You’ll get what you give. Ya, anda akan mendapatkan benih dari apa yang anda tanam. Jika anda menanamkan sifat elegan (dan berusaha keras) layaknya orang kaya, harusnya anda yang tadinya misqueen, akan bisa naik level menjadi orang kaya baru berikutnya. Asalkan tidak ada hal-hal konyol atau ketidakberuntungan yang menyertai perjalanan di dalamnya.

Apakah anda pernah melihat, seorang milyarder yang berdesak-desakan (dan mengumpat pemerintah) hanya untuk mendapatkan sesuap nasi? Seems impossible, right?

Ya kecuali, jika milyarder tersebut tiba-tiba mendadak jadi orang misqueen seperti anda. (qin)

Artikel Serupa

Ke Atas