Telaah Kritis Peran Keluarga di Era Digital
Nasib suatu bangsa dan Negara tidak lepas dari kualitas generasi yang ada di dalamnya. Kualitasnya pun sangat berhubungan erat dengan perkembangan konteks sosial yang terjadi saat itu.
Pada era globalisasi saat ini, persebaran informasi sangatlah massif, setiap orang pun dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai sumber. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi perkembangan generasi masa depan di Indonesia.
Meski memungkinkan persebaran informasi yang begitu pesat, namun era digital juga telah memperluas potensi peredaran konten negatif yang berpengaruh pada perkembangan anak sebagai generasi penerus bangsa. Di sinilah peran serta keluarga sebagai benteng utama menjadi penting, untuk membatasi arus informasi negatif yang berpotensi besar menurunkan efektifitas generasi muda dalam mengembangkan kapasitas diri.
Sebagaimana diketahui, pendidikan memiliki peran penting untuk mencetak generasi yang lebih baik di masa mendatang. Maka dari itu, dengan pola pendidikan yang baik diharapkan dapat mewujudkan generasi emas produktif pada tahun 2045, dimana Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu 70% jumlah penduduk Indonesia 70% akan berada dalam usia produktif (15 – 64 tahun), sedangkan sisanya merupakan penduduk tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan di atas 65 tahun). Dengan presentase demografi seperti itu, bukan tidak mungkin peningkatan pendapatan per kapita penduduk juga akan meningkat.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut tentunya memerlukan usaha dari berbagai pihak, termasuk yang paling pertama dan utama adalah lingkungan keluarga, yang menjadi tempat pertama seorang anak menerima pendidikan.
Melalui tulisan ini, saya mencoba mentelaah secara lebih kritis terkait peran keluarga dalam konteks pesatnya perkembangan IT terhadap perkembangan generasi muda, diantaranya adalah:
Peran 1: Mengawasi Pergaulan Anak
Di era digital saat ini, anak-anak sudah ‘terfasilitasi’ oleh berbagai fitur aplikasi yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan berbagai pihak. Aplikasi Smule dan Tik tok adalah contoh aplikasi yang paling sering digunakan oleh orang Indonesia. Jumlah pengguna Tik tok di Indonesia mencapai 10 juta pengguna aktif, sementara pengguna aplikasi Smule mencapai 1,5 jut. Banyaknya pengguna aplikasi tersebut sudah tentu menyimpan ancaman tersendiri bagi kualitas generasi.
Anak-anak yang belum memiliki kedewasaan pola pikir dapat dengan mudah terjerumus pada pola interaksi yang kurang sehat. Eksistensi yang diukur berdasarkan followers, viewers, subscribers, dan semacamnya, justru menjadi hal yang mereka banggakan. Prestasi sebagai juara olimpiade bisa jadi kalah menarik dibandingkan dengan postingan para selebgram yang belum tentu memberi contoh positif. Hal inilah yang justru menjadi ancaman, karena teknologi mampu membentuk pola pikir generasi millenial dengan menciptakan gambaran semu dari suatu prestasi.
Dalam kondisi inilah peran orang tua menjadi amat penting. Orang tua diharapkan mampu memberikan pemahaman dalam menggunakan media internet, dan memberikan edukasi yang sesuai. Di samping itu, orang tua juga perlu mengawasi pergaulan anak ketika menginjak usia remaja, seperti melihat dengan siapa mereka bergaul, serta selektif dalam memilih pergaulan. Usaha ini perlu dilakukan untuk mencegah agar mereka tidak terjerumus ke arah pergaulan bebas serta perilaku hedonisme. Contoh teranyar adalah perilaku klithih di Yogyakarta, dimana para pelaku rata-rata masih berstatus pelajar SMP maupun SMA. Konon mereka adalah salah satu “korban teknologi” yang kerap berinteraksi melalui media sosial maupun aplikasi lainnya. Kewaspadaan orang tua amatlah penting untuk menghindari cyber crime di dunia maya, yang pada akhirnya merambah ke dunia nyata.
Peran 2: Modifikasi Pola Asuh Orang Tua di Era Keterbukaan Informasi
Pola asuh orang tua zaman sekarang dapat dikatakan jauh lebih menantang dibanding dengan era sebelumnya, dimana teknologi pada saat itu belum terlalu berkembang seperti sekarang ini. Hal ini menjadi tantangan bagi orang tua di zaman sekarang agar mau tak mau harus mengikuti arus teknologi tersebut, sehingga dapat mengarahkan anak-anak mereka ke jalur yang sesuai dengan usianya. Seringkali yang terjadi adalah orang tua terkesan lambat dalam merespon perubahan zaman dan arus teknologi, sehingga mengalami kesulitan dalam membimbing anak-anak mereka. Alih-alih memberikan edukasi yang tepat, para orang tua malah yang justru harus bersusah payah diajari oleh anak-anaknya sendiri.
Untuk itulah, orang tua harus mampu memikirkan ulang pola asuh yang tetap mengedepankan ‘kebebasan yang bertanggungjawab’. Pengekangan anak remaja di era digital dianggap kurang tepat karena pola pikirnya yang masih bergejolak justru dapat membuat anak depresi atau mungkin melakukan pelarian ke sesuatu yang bersifat negatif seperti obat obatan terlarang, dimana mereka sendiri mungkin belum menyadari dampak melakukan hal tersebut. Bisa jadi seorang anak akan merasa ‘iri’ pada orang tua temannya yang memberikan kebebasan.
Dalam hal ini orang tua perlu menjadi contoh, memberikan pengertian dan nasihat yang baik, serta tidak menggurui. Menjadi seorang ‘sahabat’ bagi orang tua adalah salah satu cara, agar anak bisa lebih terbuka dalam banyak hal, sehingga orang tua secara tidak langsung dapat mengontrol dan mengawasi anaknya dengan lebih mudah. Selain itu, orang tua juga dapat menjadi tempat pencurahan emosi bagi anak, dengan begitu posisi kita sebagai orang tua dapat memberi jalan keluar bagi persoalan yang mereka hadapi, tentunya dengan pola komunikasi yang baik tanpa ada kesan mencampuri urusan mereka.
Tidak hanya itu, orang tua juga dapat mengajarkan nilai dan norma yang baik. Misalnya orang tua yang dekat dengan anak akan lebih mudah mengajarkan anak sejak usia dini terhadap perilaku hemat dan memprioritaskan barang yang diperlukan untuk menghindari perilaku konsumtif. Perilaku yang ditanamkan sejak dini ini diharapkan dapat meminimalisir ketergantungan terhadap suatu produk sehingga mengurangi perilaku konsumtif di kemudian hari.
Lebih lanjut, pemilihan jenjang pendidikan haruslah sesuai dengan keinginan dan bakat anak tersebut, tidak hanya mementingkan ego orang tua yang kerap bertentangan dengan keinginan si Anak.
Orang tua dan anak bisa duduk bersama dan mencari informasi bersama dari berbagai macam sumber, untuk melihat kurikulum dan prospek lulusan dari suatu jurusan. Dengan demikian akan ada ruang yang setara dan terbuka antara anak dengan orang tua. Jika hal tersebut dapat tercipta, dengan pola komunikasi yang baik tentunya, diharapkan nantinya anak akan lebih bisa bertanggungjawab dan mempunyai visi yang jelas untuk masa depannya. Sehingga mereka tidak akan mengalami kebuntuan, yang dapat memicu peningkatan jumlah pengangguran serta perlambatan generasi emas produktif 2045, bertepatan dengan usia 100 tahun Republik Indonesia.
Peran 3: Mengawasi Jaringan Internet Anak Untuk Mencegah Terjadinya Cyber Crime
Kejahatan dunia maya di Indonesia dapat dikategorikan tinggi. Orang tua memiliki peran yang begitu besar untuk mencegah anak agar tidak menjadi korban cyber crime.
Salah satu contoh tindakan cyber crime yang sudah termasuk membahayakan ialah apa yang dilakukan John Zuccarini, pemuda yang terkenal sebagai pelaku cybercrime pornografi. Ia merupakan pelaku tindak pornografi di dunia maya yang memiliki sebuah situs porno. Ia dengan sengaja memikat anak-anak di bawah umur untuk mengakses situs tersebut.
Satu hal sederhana yang dapat dilakukan orang tua adalah senantiasa mengawasi situs apa saja yang dibuka oleh sang anak, lalu memberi pengarahan tentang apa yang boleh maupun tidak boleh dilakukan oleh anak saat mengakses internet. Setidak-tidaknya orang tua harus rutin menge-check perangkat seluler anak setiap seminggu sekali. Hal lain yang dapat mendukung langkah ini adalah adanya UU ITE, yang mengatur agar seseorang tidak secara bebas melakukan tindak pem-bully-an di sosial media.
Ketiga uraian di atas merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga, dalam hal ini terutama para orang tua, untuk dapat mengarahkan anak-anaknya menuju masa depan yang lebih cemerlang, khususnya memasuki era digital saat ini.
Peningkatan pendidikan di dalam keluarga, juga harus diimbangi dengan peningkatan fasilitas lapangan pekerjaan yang memadai, untuk menciptakan generasi produktif serta pemerataan mutu pendidikan dan fasilitas di dalamnya, agar tidak terjadi ketimpangan kualitas antar daerah di Indonesia. Orang tua dari pelajar harus mampu menciptakan sistem pendidikan keluarga yang baik dan sesuai agar dapat mendidik anaknya menjadi generasi yang lebih baik dan maju dalam berbagai bidang.
Di era digital seperti saat ini, ancaman seperti degradasi moral, cyber crime dan pem-bully-an di sosial media, tampak begitu jelas di hadapan kita semua. Untuk itulah, orang tua perlu menyiapkan sistem pendidikan keluarga yang berlangsung secara kontinyu, dan senantiasa bersinergi dengan sekolah maupun lingkungan masyarakat untuk mewujudkan generasi masa depan yang lebih baik.***
Opini ditulis oleh Denny Taruma Primananda
Senin, 13 Agustus 2018