YOGYAKARTA – Pilkada serentak 2018 telah terlaksana di 171 daerah pada 27 Juni lalu. Beragam reaksi muncul selama masa Pilkada, baik itu yang mendukung kandidatnya hingga menjatuhkan lawan secara implisit maupun eksplisit. Saat debat Pilgub Jatim misalnya, para warganet menyayangkan sikap Emil Dardak yang terkesan menyerang pasangan Gus Ipul-Puti pada sesi tanya jawab. Begitu pula di Jawa Barat, beragam reaksi muncul atas fenomena ‘Guru Korban Pilkada’ yang sempat viral baru-baru ini.
Masyarakat, khususnya para simpatisan nampak cukup reaktif terhadap fenomena pada saat pemilu. Dengan bertudung pada kebebrasan berpendapat, berbagai ekspresi muncul dengan nada yang beragam, mulai dari yang cukup objektif, hingga ujaran kebencian yang diikuti dengan penyebaran berita palsu yang masif. Meskipun beberapa fenomena tersebut bersifat “lokal” saat Pilkada, namun kondisi ini perlu diwaspadai menjelang Pilpres. Hal ini dapat menjadi komoditas politik yang dapat diproduksi dan disebarluaskan oleh semua pihak untuk mencapai kepentingannya. Bumbu data yang belum tervalidasi menjadi hal yang bisa memicu keresahan dan kebingungan masyarakat dalam memilih pemimpin. Reproduksi yang dilakukan secara terus menerus akan berimplikasi pada hoax yang mampu merambah ruang publik.
Tersebarnya Hoax dan Ujaran Kebencian di Media Digital
Penyebaran hoax dan hate speech pada media digital jelang Pilpres 2019 adalah fenomena yang sangat mungkin terjadi. edia digital menjadi sarana yang dinilai easy to access, easy to use, dan easy to share karena hampir bisa dipastikan setiap rumah memiliki smartphone. Tingginya kepemilikan atas media sosial dan aplikasi chatting menjadikan aplikasi ini menempati urutan teratas sebagai alat penyebaran hoax di Indonesia (Survey Mastel, 2017). Karakter masyarakat yang mudah broadcast informasi, update status, share gambar, bahkan copy-paste artikel menjadikan media digital semakin rawan penyebaran informasi yang tidak valid.
Tersebarnya ujaran kebencian maupun berita palsu dapat diamati sebagai bentuk dari dua kemungkinan besar, yaitu pertama karena ketidaktahuan pelaku dan kedua adalah adanya fanatisme pelaku pada suatu persepsi. Kemungkinan pertama biasanya berasal dari masyakat yang kurang memiliki tingkat literasi yang tinggi sehingga mereka tidak biasa crosscheck validitas berita. Kemungkinan kedua dapat berasal dari kalangan masyarakat yang memiliki preferensi atau keyakinan yang begitu kuat (fanatik) sehingga menghalalkan berbagai cara untuk mempengaruhi masyarakat, baik itu dengan menyebarkan informasi untuk mengunggulkan kandiat bahkan menyebarkan hoax.
Cermati Akar Kemunculan Hoax
Konten yang tersebar dalam hoax dapat dijadikan alat para haters untuk mencapai kepentingannya. Informasi tersebut dapat menjelma sebagai wacana perbincangan politik yang mampu mempengaruhi perspektif, menstimulus respon, hingga menimbulkan kemarahan pihak tertentu menjelang Pilpres. Dalam kondisi inilah hoax justru dijadikan alat untuk membangun kesadaran semu dan berpotensi membangun narasi politik yang bisa diterima oleh orang yang terpapar. Jerman mengatasinya dengan menjerat hukum para pelaku, hingga media yang menyebarkannya. Uni Eropa juga telah membentuk kelompok ahli untuk mengidentifikasi berita palsu. Sedangkan di Indonesia, pemerintah memiliki program “TurnBackHoax” maupun pemblokiran situs yang dianggap menjadi media penyebaran hoax. Hal ini tidaklah cukup untuk mengatasi problema tersebut.
Bekerja tidaknya suatu hoax sejatinya memiliki kaitan dengan tatanan politik. Ketika tatanan politik sedang mengalami krisis, hoax dapat mudah masuk dan mempengaruhi masyarakat. Ibarat seseorang yang sedang ‘galau’, hoax dapat dengan mudah mempengaruhi sikap dan pemikiran seseorang jika tidak diimbangi dengan literasi yang kuat. Literasi masyarakat dengan penguatan civic virtue menjadi hal yang amat penting. Kemampuan untuk mengevaluasi, meng-cross check, dan penyaringan informasi penting dilakukan dalam masa menjelang Pilpres karena banyaknya kepentingan politik. Berbagai cara bisa dilakukan, misalnya: waspada terhadap judul yang provokatif, mencermati sumber informasi, melakukan pengecekan informasi maupun gambar, hingga berpikir kembali: apakah hal ini layak untuk disebarluaskan? Dampak apa yang mungkin akan timbul?. Untuk itulah penguatan civic virtue menjadi hal yang penting. Salah satu ungkapan yang cukup terkenal menyangkut hal ini adalah ‘Ask not what your country can do for you, but what you can do for your country’ (John. F. Kennedy).
Kita boleh saja mengkritik pemerintah ataupun seseorang, namun kita perlu merefleksikan dahulu apa yang dapat kita berikan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Dalam kondisi inilah kepentingan masyarakat umum sejatinya perlu lebih dikedepankan daripada kepentingan pribadi, termasuk dalam hal penyebaran informasi.
Opini ditulis oleh Desiana Rizka Fimmastuti,
Senin, 31 Juli 2018