
BANTUL – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2024 lalu, sama seperti pelaksanaan Pilpres dan Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, masih hanya dipahami sebagai kegiatan yang bersifat prosedural semata, alias hanya kegiatan mencoblos di bilik suara yang tersedia di TPS (Tempat Pemungutan Suara), tanpa ada substansi atau makna yang lebih rinci di dalamnya.
Biasanya, setelah proses pencoblosan selesai, otomatis hubungan para pejabat yang terpilih dengan rakyatnya yang telah mencoblos pun seketika hilang, seolah sudah lupa bahwa kemenangannya dalam pemilihan suara adalah hasil dari banyaknya rakyat yang mencoblos.
Selain itu, beberapa program yang sebelumnya dijanjikan pun seperti lenyap (tidak ditepati) begitu saja, dan tidak tahu harus ditagih lewat mana, hingga akhirnya demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi pada akhir Agustus lalu, adalah cara paling ampuh untuk menyadarkan mereka, bahwa jabatan yang mereka tempati sekarang bukanlah untuk bersantai-santai semata, melainkan bekerja sepenuh hati untuk rakyat yang telah memilihnya.
Itulah yang menjadi intisari dari hasil riset yang dilakukan oleh Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang dipublikasikan kepada warga sipil di DIY maupun petugas Pemilu baik KPU maupun Bawaslu, di salah satu hotel di kawasan Bangunharjo, Sewon, Bantul, Kamis (30/10/2025).
Dalam kesempatan itu, LKiS yang melakukan riset terkait Pilkada 2024 dengan sampel di kota Yogyakarta dan Kulon Progo dalam kurun Maret hingga September 2025 lalu, menemukan fakta bahwa partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pilkada cenderung mengalami penurunan sebanyak 71%, dibandingkan Pilkada sebelumnya yang hanya 33%. Begitu pun dalam Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 silam, dimana partisipasinya jauh menurun hingga 81,78%.
“Penurunan partisipasi ini menjadi sorotan kami, karena banyak pihak yang menyampaikan bahwa tren penurunan ini disebabkan karena ketidakpercayaan publik terhadap proses politik yang berlangsung, kemudian minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses politik maupun pengambilan kebijakan,” kata Titi Alfina Ratih, salah satu tim peneliti dari Yayasan LKiS, Kamis (30/10/2025).
Selain itu, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang sama-sama dilangsungkan pada 2024, membuat seluruh prosesnya menjadi tidak begitu maksimal seperti yang diharapkan.
“Belum lagi jarak antara pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang relatif cukup dekat, yang membuat kampanye hanya dilakukan secara singkat dan masyarakat juga kurang mengenali calon kandidat, baik itu Bupati atau Walikota,” tambahnya.

Masalah lain yang timbul dalam pelaksanaan Pilkada 2024 lalu, sama seperti Pemilu, adalah sulitnya menagih janji politik yang disampaikan oleh para kandidat selama masa kampanye. Akhirnya banyak masyarakat sipil yang berinisiatif untuk membuat forum sendiri, yang bertujuan untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat terkait janji-janji politik yang telah disampaikan berulang kali oleh para kandidat selama masa kampanye, namun nyatanya tak kunjung ditepati setelah kandidat tersebut berhasil terpilih.
“Dalam riset ini kita bisa mengetahui bahwa ternyata demokrasi itu masih sebatas kegiatan prosedural saja, sehingga penting diperlukan pendidikan politik untuk publik, serta membuka ruang-ruang untuk dialog yang lebih substantif dan mendekati kebutuhan warga yang paling dasar, agar mereka bisa lebih mengenali siapa pilihannya,” ujar Tri Noviana, peneliti lainnya dari Yayasan LKiS.
Sedangkan dari pihak KPU dan Bawaslu kota Yogyakarta dan Kulon Progo, yang turut hadir dalam kesempatan tersebut, tidak banyak menanggapi hasil riset dari LKiS secara spesifik, namun menegaskan bahwa memang tugas mereka adalah di ranah prosedural (angka pemilih, sosialisasi calon pemilih, tidak ada/minim pelanggaran, dan seterusnya), yang mana itu sudah merupakan sesuatu yang cukup melelahkan.
“Kami turut mengapresiasi hasil riset dari kawan-kawan LKiS, karena harus diakui memang banyak benarnya. Ini juga menjadi tantangan bagi kami sebagai penyelenggara,” kata Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU kota Yogyakarta, Ratna Mustika Sari.
“Kalau tadi disebutkan bahwa Pilkada ini hanyalah proses demokrasi secara prosedural, ya memang disitulah ranah kami, tapi itu bukan berarti kami tidak khawatir dengan capaian substantif dari seluruh proses demokrasi ini,” ujar Ratna menambahkan.
Beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam hasil riset dari LKiS tersebut antara lain agar bisa mengubah sistem pemilu secara menyeluruh (revisi UU Pemilu dan Pilkada), termasuk tanpa melibatkan politik uang, titip jabatan, dan seterusnya, lalu menyediakan forum khusus untuk menagih janji dari para kandidat terpilih, agar publik bisa mengawasi setiap kebijakan yang diambil agar sesuai dengan kepentingan publik.
Rekomendasi selanjutnya adalah memperluas partisipasi publik dalam setiap proses pemilu, tidak hanya sekedar mencoblos di TPS saat hari-H. Kemudian mempertahankan sistem pemilu secara langsung dan terbuka, agar publik dapat senantiasa mengawasi setiap proses yang terjadi di dalamnya, serta agar tidak semakin menurunkan kepercayaan publik, yang saat ini juga sudah kian merosot. Selain itu agar lebih memberi ruang bagi pemilih disabilitas, lansia, transpuan, maupun kelompok rentan dan marjinal, untuk bisa mendapatkan akses memilih yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Bawaslu juga diminta untuk diberikan kewenangan lebih untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi selama masa pemilu maupun Pilkada (pra, selama, dan sesudah). Karena yang selama ini terjadi hanya berupa laporan yang bersifat rekomendasi, tanpa tindak lanjut nyata sesuai dengan maksud dan tujuan laporan tersebut dibuat. (qin)

