BANTUL – SPJ – Menurut Tedi Kusyairi, akademisi dan Guru harus mulai mengubah mindset bukan lagi menyebut menulis puisi, tapi mencipta puisi. Ini berlaku pada semua proses dan hasil tulisan, fiksi maupun non-fiksi. Menulis itu merupakan proses berkegiatan menuangkan ide karya, sedangkan mencipta dikarenakan proses sebelum menulis dan selama melakukan aktivitas penulisan merupakan upaya melahirkan ide yang merupakan hasil karya dan karsa seorang manusia, demikian Tedi Kusyairi disampaikan dalam acara Pelatihan Penulisan Puisi yang diselenggarakan oleh MGMP Bahasa Indonesia SMA/MA Bantul, Selasa (8/8/203) di SMAN 2 Bantul.
Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA/MA Bantul, Agustina Prapti Rahayu mengungkapkan bahwa kegiatan pertemuan MGMP Bahasa Indonesia diselenggarakan setiap dua minggu sekali, dan ada beberapa program lain seperti peningkatan kapasitas melalui kegiatan hari ini, menulis bersama, dan penerbitan tulisan baik buku atau LKS.
“Anggota kita ada lima puluhan, namun karena masih memiliki tanggungjawab utama sebagai Guru di sekolah masing-masing, beberapa diantaranya tidak bisa hadir. Namun demikian tidak mengurangi antusias kita untuk kegiatan hari ini, sebagai guru kita biasa menulis puisi dan mengajarkan di kelas, namun praktik sesungguhnya kita harus banyak belajar dari praktisi yang memang bergulat dengan dunia puisi diluar sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengupgrade pengetahuan dan aplikasi pembelajaran,” terang Agustina.
Mengenai teori menulis puisi dan pembelajaran di kelas, melalui pelajaran Bahasa Indonesia, setiap guru memiliki caranya sendiri-sendiri berbasis pengalaman yang diperoleh. Namun tantangan pendidikan dewasa ini tidak isa dilepaskan dari kemajuan teknologi dan media sosial.
Pada sesi Pelatihan Penulisan Puisi ini, Tedi Kusyairi memaparkan bahwa pilihannya dalam menuliskan karya-karya baik fiksi maupun nonfiksi mengantarkan pada identitas tersendiri. Konsistensi menujukkan jati diri seseorang dalam seluruh proses hidupnya dalam menulis.
“Jika endingnya saat ini saya dikenal sebagai penyair, sastrawan, penulis, itu adalah hasil dari pandangan orang-orang diluar saya setelah melihat apa yang saya lakukan dan hasil karya serta tulisan saya, akhirnya pilihan sebagai penulis membuahkan hasil buat saya pribadi, pilihan apapun jika konsisten akan menghasilkan sesuatu, termasuk ekonomikal, ini berlaku bagi semua orang dan dalam bidang apapun,” terang Tedi Kusyairi.
Mengenai puisi, menurut Tedi, merupakan puncaknya hasil tulisan karya sastra, disisi lain menuliskan puisi itu sulit, tapi banyak orang melakukannya, dalam kehidupan setiap orang dapat diterka bahwa pernah menuliskan puisi, dalam berbagai bentuknya. Setelah itu mereka konsisten di puisi maupun berkembang ke bentuk tulisan lainnya baik sastra atau ilmiah. Puisi memiliki problematika yang cukup mengernyitkan dahi penulisanya karena karya sastra yang sangat ringkas tapi bermakna.
“Sulitnya menulis puisi adalah mengendapkan ide dahulu, baru kemudian menuliskannya dalam pilihan kata, diksi, rima yang padat namun bermakna, dan ketika dibacaka memiliki nalar yang mengolah rasa kemanusiaan,” jelas Tedi.
Tantangan dimasa kemajuan teknologi dan merebaknya media sosial, merupakan peluang dan tantangan tersendiri, kita dituntut untuk adaptif, tidak mungkin melawan namun menyiasatinya, termasuk dalam hal konten, puisi merupakan amunisi konten yang tanpa disadari sering digunakan oleh para kreator, dalam hal inilah puisi memiliki nilai ekonomisnya. Ditilik dari segi profesi sebagai seorang Guru yang sudah mendapatkan kompensasi kerja sebagai ASN, kemampuan menulis termasuk menulis puisi merupakan upaya mengupgrade value seorang guru, bahwa tidak hanya mendidik atau mengajar, namun juga menulis.
“Kebanyakan yang memulai menulis, menthok di ide, padahal ide selalu ada disekitar kita. Apapun itu, proses kepenulisan puisi bisa dilakukan mellaui dua treatment cara, yang pertama menuliskan langsung apa-apa yang ada di dekat kita di depan mata, tulis saja tanpa harus melakukan imajinasi, tulis apa adanya. Kedua, menuliskan hal-hal yang jauh dan tidak ada di depan kita saat itu, ini memerlukan imajinasi, membayangkan. Pun keduanya, memerlukan pengendapan makna, melakukan pilihan kata yang tepat, dan mengolah nalar serta rasa, inilah tantangan dalam menulis puisi,” papar Tedi lagi.
Pada kesempatan ini, Tedi mengajak peserta untuk menggunakan gandet dalam menulis puisi, yakni menuliskan dua puisi sebagai story atau status di whatsapp, satu puisi apa-apa yang ada di ruangan acara, satu lagi puisi yang idenya berasal dari luar ruang acara. Fakta dan imajinasi. Setelah membuat story berbasis puisi diharapkan akan ada tanggapan dari para pembacanya, ini salah satu strategi untuk mempopulerkan puisi maupun membuat diskursus kepenulisan puisi tersebut. Selain itu, diskusi dilakukan membahas mengenai proses kreatif kepenulisan puisi. (tks)