SLEMAN – Sebagai salah satu seniman sekaligus penulis buku terkenal, setiap karya yang dihasilkan oleh Goenawan Mohammad tentunya selalu memiliki makna tersendiri, yang belum tentu bisa dipahami secara gamblang oleh orang awam.
Saking sulitnya memahami karya beliau, banyak orang yang akhirnya berlomba-lomba memberikan penilaian dan perspektifnya masing-masing, yang kemudian dikumpulkan menjadi suatu karya tersendiri.
Adapun buku yang berjudul “Membaca Goenawan Mohammad” adalah hasil dari seminar, yang kemudian menginspirasi lahirnya sebuah buku, agar pemikiran tentang Goenwan Mohammad (GM) akan terus abadi dan bisa ikut dinikmati oleh para generasi berikutnya.
Tidak hanya melalui buku semata, isi buku “Membaca Goenawan Mohammad” ini sendiri juga ikut dibedah, dalam sebuah diskusi khusus, yang diselenggarakan di kampus Universitas Sanata Dharma (USD), Senin (15/5/2023), yang menghadirkan para narasumber intelektual di Yogyakarta, seperti St. Sunardi, salah satu Pengajar Pasca Sarjana di USD, serta Taufiqurrahman, Penulis dan pegiat filsafat dari UGM. Mereka juga bertindak sebagai moderator dalam diskusi kali ini.
Dalam paparannya mengenai GM, Sunardi menjelaskan bahwa dalam menafsirkan pemikiran dari GM, harus dijalankan dengan prinsip “Amor Fati”, alias menerima dan mencintai apapun nasib yang diterima oleh setiap manusia, sekalipun itu belum tentu sesuai dengan apa yang diharapkan.
“Maksud saya adalah bagaimana kita bisa berdamai dengan hidup yang penuh dengan konflik dan perdebatan yang terkadang tidak bisa terselesaikan. “Amor Fati” sendiri merupakan cara kita untuk menyikapi hidup yang semacam itu. Dan setiap karya puisi dari GM begitu sarat dengan makna itu (Amor Fati),” kata Sunardi.
Adapun pemilihan kata “Amor Fati” adalah berasal dari istilah yang dipopulerkan oleh Nietzche, seorang pemikir terkemuka asal Jerman, dimana istilah ini juga digunakan oleh Goenawan Mohammad dalam karya-karyanya. Disini Sunardi berusaha memberikan pesan, bahwa mempelajari pemikiran seorang Goenawan Mohammad tidaklah bisa dilakukan sembarangan, melainkan juga harus dilakukan dengan bersastra, alias dengan bahasa yang puitis.
Di lain pihak, Taufiqurrahman, yang juga menjadi moderator dalam diskusi ini, justru tidak sepaham dengan prinsip “Amor Fati” ala Sunardi. Karena menurutnya hal itu justru kurang baik bagi peradaban zaman, yang semakin maju seperti saat ini.
“Khususnya apabila anda adalah pejabat publik yang bertanggungjawab untuk mengurusi masyarakat, maka anda tidak bisa kemudian menerima hidup apa adanya, serta sekedar mencintai apa yang sudah dimiliki saat ini,” sebut Taufiqurrahman.
Taufiqurrahman menambahkan, bahwa dalam setiap persoalan hidup, haruslah dicari solusinya, dan tidak bisa jika hanya menerima saja apa yang sudah diberikan, layaknya prinsip ambiguitas yang dipegang teguh oleh seorang Goenawan Mohammad.
Mengingat kompleksitas seorang GM dan pemikirannya terhadap kehidupan, maka diskusi inipun memang tidak bisa jika hanya dilakukan dalam satu kali pertemuan. Sehingga ke depannya diharapkan akan terjadi diskusi-diskusi lainnya mengenai sosok GM dan karya-karyanya yang melegenda, yang tentu saja masih relevan dengan kehidupan modern jaman sekarang. (qin)