YOGYAKARTA – SPJ – Kongres Kebudayaan Jawa (KKJ) III sebagai wadah dan sarana pembahasan masalah kebudayaan Jawa di tengah era digital saat ini, resmi dibuka di Hotel Alana, Yogyakarta, Senin (14/11/2022). Kongres berlangsung hingga 17 November 2022 mendatang dengan mengusung tema Kabudayaan Jawa Anjayeng Bawana (Budaya Jawa Mendunia). Kegiatan ini dibuka dengan pemukulan gamelan oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dan Asisten I Sekdaprov Jatim, Benny Sampirwanto, mewakili Gubernur Jatim.
Dian Lakshmi Pratiwi Kepala Dinas Kebudayaan DIY dalam sambutannya menyampaikan, isu-isu global seperti degradasi lingkungan, disharmoni hubungan antarbangsa, ketimpangan sosial ekonomi, kearifan lokal, kegelisahan global, modal sosial, gender, entropi, pangan, dan isu-isu global lain, merupakan isu-isu yang sangat terbuka bagi kebudayaan Jawa. Saptagati (Tujuh Keutamaan Budaya Jawa) yang diletakkan sebagai spirit sekaligus landasan pijak bagi Kongres Kebudayaan Jawa III ini menyandang substansi.
“Kongres Kebudayaan Jawa II (KKJ II, 21 s.d. 23 November 2018) di Surabaya yang telah menghasilkan rumusan Saptagati Budaya Jawa seperti tersebut di atas, telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah 3 (tiga) Provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk menindaklanjuti Saptagati Budaya Jawa tersebut. Atas dasar amanah tersebut, maka Kongres Kebudayaan Jawa III,” kata Dian Lakshmi Pratiwi.
Menurut Dian, tema Anjayèng Bawana, memiliki makna imperatif dan preskriptif. Artinya, atas dasar panggilan tanggung jawab moral, kebudayaan Jawa sudah saatnya secara eksplisit mengambil peran aktif sebagai pemandu sekaligus pengatas masalah (pemberi solusi) bagi persoalan-persoalan global yang saat ini telah dan sedang dihadapi oleh masyarakat global. Kebudayaan Jawa yang memiliki unsur unsur tangible dan intangible telah menunjukkan jejak-jejaknya sebagai pemandu peradaban bagi sejarah peradaban Indonesia maupun peradaban di sebagian belahan dunia, sehingga tema Anjayèng Bawana bukanlah tema yang a-historis atau tema yang mengada-ada (grandiose).
“Dengan perkataan lain, Anjayèng Bawana memiliki misi membawa Kebudayaan Jawa sebagai Gerakan Kebudayaan Global,” ujarnya.
Lebih lanjut diungkapkan Dian, tujuan utama dari Kongres Kebudayaan Jawa III adalah menindaklanjuti Saptagati sebagai amanah Kongres Kebudayaan Jawa II (Surabaya) sebagai spirit dan landasan ‘Kabudayan Jawa Anjayèng Bawana’ atau membawa ‘Kebudayaan Jawa sebagai Gerakan Kebudayaan Global’. Sedangkan secara rinci, tujuan dari Kongres adalah: 4 a) Merumuskan makna Saptagati sebagai landasan ‘Gerakan Kebudayaan Jawa sebagai Gerakan Kebudayaan Global’ b) Merumuskan sistem, model, dan jaringan Data Kebudayaan Jawa c) Merumuskan inovasi dan difusi 5 (lima) warisan budaya Jawa yang telah ditetapkan oleh UNESCO agar nilai dan ujudnya dapat diterima oleh masyarakat global dan menjadi rujukan bagi terbangunnya peradaban baru dunia. d) Merumuskan Model Kelembagaan untuk mengimplementasikan rumusan inovasi dan difusi dari kelima warisan budaya Jawa tersebut sebagai gerakan kebudayaan global.
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan bahwa sudah selayaknya di era yang serba modern-digital ini, falsafah hidup Jawa jangan semerta dianggap menjadi usang atau kadaluarsa.
Sebaliknya, semua nilai tersebut harus direaktualisasi agar semakin ada kejelasan maknanya, seperti gagasan yang termakna dalam ‘Saptagati’, sebagai rumusan yang dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, pada tahun 2018 silam.
“Saptagati dapat dimaknai sebagai Tujuh Keutamaan Budaya Jawa, dengan menyandang unsur substansi: jatidiri, sendi pembangunan bangsa, pilar kesatuan, tuntunan perilaku kepemimpinan, benteng pelestarian budaya, daya mental, pemahaman nilai global, dan daya mental spiritual tata pergaulan internasional,” ujar Sri Sultan HB X.
“Sehingga besar harapan, Kongres Kebudayaan Jawa III, seiring temanya: ‘Kabudayan Jawa Anjayèng Bawana: Dari Saptagati Menuju Kebudayaan Global’, menjadi wadah inovasi dan kreasi aktualisasi budaya Jawa, agar memiliki daya-panggil, daya-gerak dan daya-ungkit serta daya-hidup. Kesemuanya itu dilakukan untuk membangkitkan ‘gumrégahing’ masyarakat secara bersama-sama membangun kesejahteraannya sendiri,” tambahnya.
Lebih lanjut Ngarsa Dalem berharap, melalui kegiatan ini budaya Jawa dapat menjadi jawaban atas berbagai tantangan zaman dan tantangan global, seiring dinamika yang menyertainya. (red).