Membersamai insan di Suara Pemuda Jogja selama 6 tahun ini adalah suatu hal yang sangat berharga, bukan sekedar teman tapi sudah menjadi rumah bagi sebuah keluarga, untuk bahu-membahu berproses, dari nol hingga mulai bernilai, mulai dari ide, melahirkannya, hingga kini menatihnya.
Suara Pemuda Jogja lahir dari anak muda di Jogja, mencoba mengajak para pemuda untuk menjadi citizen journalism di lingkungan masing-masing, menjadikan alternatif bagi jurnalisme kepemudaan yang mengemuka, dimana potensi pemuda belum terwadahi.
Sebagai media alternatif anak muda, Suara Pemuda Jogja tidak dibangun dari modal kapital yang berlimpah, namun berbasis swadaya keluarga di dalamnya, seadanya, semampunya, saling bahu membahu berkarya di rumah, sebagai wadah apresiasi anak muda Jogja.
Suara Pemuda Jogja, dalam langkahnya tidak hanya memperbaiki di dalam, namun juga terus meluaskan virus menulis, dunia jurnalistik ke lingkaran pemuda di lingkungan anggota keluarga masing-masing, dengan sedikit pengetahuan, menularkannya kepada yang lain.
Anggota keluarga Suara Pemuda Jogja yang ‘lembah manah’, tak ekslusif tapi membuka diri bagi siapapun yang ingin belajar bersama, membangun karya positif anak muda, tanpa pandang bulu. Terus mengajak serta, menjadi fasilitator perubahan yang dilakukan pemuda.
Membersamai anggota keluarga yang terus bertumbuh kreatif, namun tetap mau belajar kepada yang lebih paham, lebih senior, lebih berpengalaman, untuk diumpankan ke dalam, agar terwujud perkembangan yang berarti, tumbuh mengakar, pelan tapi pasti.
Membersamai pertumbuhan Suara Pemuda Jogja yang pelan tapi pasti, bukan tumbuh secara karbitan, tidak besar karena suntikan infus, namun hasil tahap per tahap yang diharapkan bisa lebih membumi, membersamai setiap tetes keringat kerja dan karya nyata.
Tentu, pengalaman sejak lahir, berguling, merangkak, dan mulai berjalan, meski belum tegak, adalah proses belajar yang nyata bagi kami di Suara Pemuda Jogja. Dikhianati, dihina, ditinggalkan, merupakan sebuah kenangan yang berharga untuk belajar, nrimo.
Rasa nrimo inilah yang membulatkan tekad Suara Pemuda Jogja untuk menolak dibeli, karena seadanya seperti inilah, kami merasa memiliki, handarbeni, nguri-uri, menjaga, dan mentradisikannya, sebagai sebuah etos nafas pengabdian sederhana kami pada dunia.
Suara Pemuda Jogja sebagai ekspresi kami, sudah menjadi tempat bernaung, investasi masa depan, IDENTITAS, serta alamat tujuan kami yang menerusuk ke dalam kalbu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses hidup kami. Sarana kami bertransformasi ke depan.
Bagi kami, cukuplah Konsistensi, loyalitas, dan cinta, menjadikan tantangan kami menuju dunia profesional, dari membangun ‘jeneng’ yang kelak akan menjadi ‘jenang’ bagi hidup kami. Bahwa proses tak akan pernah mengkhianati hasil, sebuah sandi yang akan terus kami genggam.
Terimakasih kepada semua insan yang sudah memberikan input bagi nafas panjang kami, karena kehadiran semua pihak merupakan cara kami untuk belajar menjadi lebih baik, tentu harapannya kelak akan menjadi sesuatu yang pantas dicatat! Amiin.
Opini ditulis oleh Tedi Kusyairi,
Senin, 11 Desember 2017