YOGYAKARTA – Ribuan orang sudah meramaikan Jogja-NETPAC Asian Film
Festival (JAFF). Di hari ketiganya, festival ini menawarkan sejumlah program menarik yang
membahas topik-topik hangat di dunia perfilman.
Program Forum Komunitas yang dilaksanakan di Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum,
membahas mengenai ruang pemutaran alternatif. Diskusi ini menghadirkan Lija Anggaheni
dari Yayasan Sinema Yogyakarta, Rachma Safitri dari Kampung Halaman dan Budiman
Setiawan dari Sinema Kolekan. Ruang pemutaran alternatif menjadi akses yang vital dalam
keberlangsungan perkembangan sinema.
Selain itu, Forum Komunitas juga menyajikan enam film pendek melalui Layar Komunitas
yang juga dilakukan di Jogja National Museum. Film-film tersebut adalah “Perayaan Ulang
Tahun Siti Supadjar,” “Mamam,” “Sepiring Bersama,” “Gejog,” “Blues Side On The Blue Sky”
dan “We Have No Idea.” Di sore harinya, LA Indie Movie meluncurkan programnya bersama
sutradara Ifa Isfansyah, Ismail Basbeth and Adhyatmika. Acara di Jogja National Museum
ditutup dengan Open Air Cinema yang menayangkan film pendek “Ayo Dolen” dan film
panjang “Sesat” sebagai sajian utama.
Empire XXI menayangkan tiga film dari program Focus on Garin Nugroho, dimulai dari “Mata
Tertutup,” “Puisi Tak Terkuburkan” dan “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja.” Garin yang
menghadiri sesi tanya jawab seusai film “Aku Ingin Menciummu Sekali Saja” mengatakan
bahwa dalam memperlakukan setiap cerita, ia selalu mulai berproses dari nol. Ia tertarik
membahas Papua sebagai bagian dari kelompok masyarakat di Indonesia yang dinamikanya
patut digali pasca terjadinya reformasi 1998.
Sementara itu, program Layar Klasik menayangkan film “Batch ’81” yang merupakan film
klasik dari Filipina. Film karya sutradara Mike de Leon ini bercerita tentang ritual penuh
penyiksaan yang dijalani oleh tujuh orang anggota baru komunitas kampus. Film ini
bercerita soal persaudaraan dan juga konflik dalam komunitas.
Program Asian Perspective’s Shorts menyajikan empat film pendek; “Laut Bercerita,” “I
Come and Stand at Every Door,” “Permanent Resident,” “Ballad of Blood and Two White
Buckets.” Sementara itu, “Father to Son” menjadi film panjang unggulan dari program Asian
Perspectives.
Antri panjang terjadi di Empire XXI karena antusiasme untuk menyaksikan dua film
Indonesia “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta” serta “Keluarga Cemara.” Keduanya
berkompetisi di dalam program JAFF Indonesian Screen Awards. Ini adalah kali pertama
“Keluarga Cemara” bertemu dengan penonton Indonesia karena jadwal rilis resminya baru
akan terjadi di bulan Januari 2019.
Film pembuka JAFF “The Man from the Sea” mengawali rangkaian JAFF di Cinemaxx. Sekar
Sari yang berperan sebagai Ilma di film garapan Koji Fukada mengatakan bahwa film ini
bercerita soal alam yang memiliki dua sisi, menghidupi namun juga menghabisi manusia.
Film ini terinspirasi dari tragedi tsunami yang menimpa Aceh beberapa waktu silam.
JAFF di Cinemaxx juga menayangkan empat film dari program Asian Feature yakni “Strange
Colours,” “The Widowed Witch,” “Looking for Lucky” dan “Die Tomorrow.”
Ada dua film panjang dari Asian Perspectives yang merupakan program non kompetisi untuk
sineas dari Asia, yakni “Balangiga: Howling Wilderness” dan “Malila: The Farewell Flower.”
Program Layar Klasik menyajikan “Santi-Vina,” film klasik dari sutradara Thailand Thavi Na
Bangchang yang bercerita soal karma yang terjadi di tiga kehidupan.
Rangkaian acara hari ini ditutup oleh film “Shoplifters” dari program Respect Japan yang
akhirnya tayang di Empire XXI pada pukul 21.00 WIB. Film terbaru karya sutradara yang
pernah memenangkan Jury Prize di Cannes Film Festival ini sangat dinanti-nanti. Film
berdurasi 121 menit ini bercerita tentang sekelompok orang yang hidup terkucilkan di kota
Tokyo. (qin)