Oleh: Seno Joko Suyono
Tahun depan adalah 150 tahun lahirnya buku tersohor Alfred
Russel Walace: The Malay Archipelago. Buku yang diterbitkan
tahun 1869 itu merupakan sebuah karya sains populer
yang menjadi rujukan para peneliti mengenai khazanah flora dan
fauna kepulauan nusantara sampai kini. Karya ini merupakan
catatan perjalanan dan pengamatan Wallace selama menjelajah
Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis, geografer,
ahli antropologi dan ahli botani dari Britania Raya. Ia adalah ilmuawan yang mencetuskan Garis Wallace. Garis yang membagi
kepulauan Indonesia menjadi dua bagian yang berbeda: bagian
barat di mana sebagian besar faunanya berasal dari Asia dan
bagian timur dimana faunanya berasal dari Australia. Banyak
yang tak mengetahui penelitian-penelitian Wallace di nusantara
sesungguhnya sangat mempengaruhi Charles Darwin untuk
merumuskan teori evolusinya. Terutama saat merumuskan konsep
asal usul spesies dan survival of the fittest.
Hampir tidak pernah diselenggarakan sebuah simposium
yang mengumpulkan secara bersama para sejarawan atau ahli
ilmu sosial untuk membahas catatan-catatan harian atau suratsurat
penting yang dibuat oleh para musafir asing yang pernah
berdiam atau melintasi nusantara. Padahal banyak catatan harian
mereka kemudian menjadi buku standart keilmuan dunia.
“Tujuan utama seluruh perjalanan saya,” jelas Alfred Russel
Wallace dalam pembukaan buku The Malay Archipelago “adalah
untuk mengumpulkan spesimen dari sejarah alam…”Dan ia
berhasil. Dari perjalanannya di nusantara ini ia mampu memperoleh beragam spesies yang begitu kaya variasinya. Ia berhasil membawa pulang lebih dari 125.000 spesiemen mamalia, reptil, burung-burung, kerang-kerangan, kupu-kupu, kumbang dan lain sebagainya.
Tengok bagaimana saat ia mendaki Gunung Pangrao saja,
ia menyaksikan fernomena tumbuhan yang mengesankan.
“Pada ketinggian 5000 kaki, saya pertama kali melihat rumput
ekor kuda (Equisetum) yang sangat mirip dengan yang ada di
Inggris. Di ketinggian 6000 kaki tumbuh raspberry dalam jumlah
yang sangat banyak. Di ketinggian 7000 kaki, pohon cemara (cypress) mulai terlihat dan pohon-pohon di hutan menjadi lebih kecil serta lebih banyak ditutupi lumut. Di ketinggian 7000- 8000
kaki itu, saya mendapatkan hewan yang indah dari jenis burung
kecil pemakan buah. Saya menemukan seekor walik (Ptilonopus
roseicollis) yang seluruh kepala dan lehernya berwarna merah
muda, sangat berbeda dengan warna bulunya yang berwarna hijau.
Burung ini bersarang di puncak pohon tertinggi, tetapi mencari
makan di tanah di antara semak-semak arbei.
Di ketinggian 8000 kaki, tumbuhan khas Eropa bertambah
banyak, misalnya beberapa jenis kamferfuli, St John’s Wort (Hypericum perforatum) dan Guelder-rose (Viburnum Opulus) . Sementara itu di ketinggian 9000 kaki untuk pertama kalinya saya
melihat royal cowslip (Primula imperialis), bunga langka dan indah
yang tidak ditemukan di bagian dunia lain kecuali di puncak
Gunung Pangrao ini…”
Wallace tidak sendirian dari kepulauan nusantara menghasilkan
hal yang menakjubkan bagi dunia ilmu pengetahuan. Di
Ambon misalnya pernah menetap seorang ahli botani Jerman
bernama Georg Eberhard Rumphius (wafat di Ambon tahun
1702) yang menghasilkan ensiklopedi raksasa: Herbairum Amboinense. Akan halnya dari dunia sastra, penulis asal Trinidad,
Karibia keturunan India-Nepal, pemenang nobel sastra 2001,
V.S Naipaul, yang baru saja meninggal 11 Agustus lalu di
usianya yang ke 85 tahun – kita tahu juga periode 80-an pernah
menyusuri Jawa dan menghasilkan karya menarik: Among The
Believers.
“Saya pergi ke Surabaya bersama Prasojo, seorang mahasiswa
berumur 19 tahun. Dia merupakan teman perjalanan paling
baik yang pernah saya dapat. Prasojo pernah mendapat beasiswa
selama setahun di Arizona dari American Field Service. Ia
lancar berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Amerika.”
Prasojo yang disebut V.S Naipaul itu kelak kemudian hari
kita kenal sebagai Doktor Sosiologi Imam Prasojo . Imam Prasojo
muda saat itu mengantar Naipaul ke pelosok desa-desa
Surabaya. Mata Naipaul menyaksikan bahwa rumah-rumah di
pedesaan yang mayoritas warganya Muslim pun masih membersitkan aura arsitektural Hindu. Suatu osmosa yang menarik.
“Di setiap halaman kecil terdapat gerbang tapi tidak berpintu.
Gerbang ini memiliki desain yang unik, dengan bentuk piramida
atau wajik dari batuan tipis. Gerbang-gerbang ini, yang semula
tampak sebagai tanda kepemilikan tanah ternyata adalah sisa
arsitektur kerajaan Hindu terakhir di Jawa, kerajaan Majapahityang
hancur pada akhir abad ke !5.”
Mata V.S Naipaul agaknya peka terhadap seluruh gejala
akulturasi dan asimilasi yang unik dan toleran di Jawa saat itu.
Tatkala ia diajak Umar Kayam mengunjungi rumah penyair Linus
Suryadi Agustinus di kaki Merapi ia tertarik melihat di rumah Linus
ada foto seorang tokoh Katolik bersanding dengan wayang.
“Umar membawa saya mengunjungi desa Linus. Linus
adalah seorang penyair muda Yogja. Linus adalah seorang Katolik.
Nama lengkapnya adalah Linus Agustinus. Ibu Linus adalah
penganut Katolik, sementara ayah Linus menjadi pemeluk Katolik
karena ingin menikahinya. Mereka adalah keluarga petani.
Rumah keluarga Linus terbuat dari batu, berpilar rendah dengan
lantai semen. Ada sebuah ikon tokoh Katolik tergantung di atas
pintu bagian dalam. Dan di dinding terdapat figur tokoh pewayangan
Jawa dari kulit: figur itu adalah Khrisna berkulit hitam,
bukan melambangkan dewa yang gemar bermain dalam legenda
Hindu, melainkan Khrisna Jawa yang bijaksana…”
Begitu banyaknya catatan-catatan mengenai nusantara
yang ditulis para pengelana asing. Untuk itulah maka di tahun ini
Borobur Writers and Cultural Festival (BWCF) mengambil tema:
Traveling & Diary. Sebuah tema yang ingin merayakan catatan
harian para pejalan, peziarah, pelawat India, Muslim sampai
Eropa ke nusantara. BWCF adalah sebuah forum yang bertujuan
untuk merawat khazanah literasi klasik nusantara secara
populer. Tiap tahun kami berusaha menghadirkan tema-tema
yang out of the box, unik dalam sejarah literasi nusantara yang
jarang dibedah. Kami mengharap para mahasiswa, pendidik,
guru-guru, peneliti, sastrawan, aktivis kebudayaan yang menghadiri
BWCF setelah mendengar ceramah para pakar akan
terangsang, terinspirasi dan kemudian melahirkan karya-karya
kreatif .
Untuk tema Traveling& Diary kali ini, BWCF memulai dengan
mengulas —catatan harian I Tsing. Ia seorang pengelana
dari Cina di abad 7, yang dalam perjalanannya belajar agama
Budha di Nalanda India, sebelumnya mampir di Sumatra mempelajari tata bahasa Sansekerta dan sekembali dari Nalanda juga memilih tinggal lebih dahulu di Sumatra untuk menerjemahkan teks teks suci yang dibawanya. I Tsing atau Yi Jing (635-713) dalam khazanah Budhis Cina – dikenal sebagai pengembara religius yang berani melakukan perjalanan penuh tantangan dari Cina ke India untuk mendapat bahan-bahan teks keagamaan Budhis setelah sebelumnya dilakukan oleh rahib Fa Xian (337-422 M) dan Xuan Zang (602-644) .
Tahun ini BWCF adalah tahun tujuh. Penyelenggaraan kami
masih tergolong sederhana dan apa adanya. Masih panjang perjalanan. Mempertahankan kontinuitas – di tengah kesulitan pencarian dana penyelenggaraan masih merupakan prioritas utama.
Tapi sedikit demi sedikit kami – kami berusaha membenahi diri
dengan menambah progam. Sesuai dengan tema Traveling &
Diary, untuk tahun ini kami misal mencoba bekerjasama denagan
Komite Buku Nasional (KBN). KBN memiliki progam membeayai
residensi para sastrawan nasional untuk tinggal di luar
negeri selama beberapa bulan. Di luar negeri mereka melakukan
riset untuk keperluan karya-karya mereka. Banyak dramawan,
penyair dan sastrawan yang terpilih kemudian selama beberapa
bulan melakukan penelitian di Eropa atau Amerika. Kami menghadirkan empat sastrawan residensi KBN antara lain: Martin Aleida, Agustinus Wibowo, Cok Sawitri dan Faisal Oddang untuk berbagi cerita, sharing pengalaman mereka selama melakukan riset di negeri manca.
Progam baru kami yang lain adalah: workshop dongeng
anak. Buku anak sekarang lagi naik daun. Adalah menarik dalam
Frankfurt Book Fair 2015 saat Indonesia menjadi tamu kehormatan
, beberapa buku anak terbitan Indonesia diincar lisensinya oleh penerbit asing . Buku anak makin memiliki pasar. Untuk program dongeng anak di BWCF, kami bekerjasama dengan Dr Murti Bunanta, penulis buku anak dan praktisi dongeng anak. Kami juga mengadakan seuah festival film kecil-kecilan di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang sebagai sebuah parallel event. 4 buah film bertema Islam dan pluralisme karya sutradara Nurman Hakim akan diputar di Pabelan dan kemudian Nukman Hakim beserta pengamat film Marselli Sumarno akan mengadakan diskusi dengan para santri. Sementara progam meditasi
yang sudah kami mulai dari tahun lalu tetap akan kami pertahankan
sebagai sebuah ikon baru BWCF. Tahun ini kami mengundang
Laura Romano, seorang praktisi meditasi paguyuban
kebatinan Sumarah, Romo Sudrijanto SJ dan Yudhi Widdiantoro
untuk memimpin sesi yoga dan meditasi.
Sebagai sebuah festival yang ingin menggabungkan perayaan
dunia literasi dan dunia seni pertunjukan, BWCF juga ingin
memberi perhatian sedikit besar ke seni pertunjukan.
Menyesuaikan dengan tema besar: Traveling & Diary maka tema
kuratorial kami untuk seni pertunjukan adalah: Migrasi.
Kami menganggap isyu migrasi adalah isyu penting dunia
saat ini. Eropa misalnya dilanda migrasi besar-besaran pengungsi
dari Suriah yang menimbulkan berbagai problem ekonomi
sosial. Sejarah sosial nusantara sendiri adalah sejarah yang
penuh migrasi. Para penduduk nusantara misalnya adalah sebagian
besar adalah turunan dari migrasi besar-besaran out of Taiwan
yang membawa kultur Astronesia. Jauh sebelumnya homo
erecrtus di Jawa seperti Pithecantropus Erectus atau homo
Soloensis adalah makhluk yang menjadi ujung terakhir pengembaraan manusia-manusia setengah kera yang keluar dari Afrika atau Out of Africa.
Dengan tema: Migrasi , kami mengundang para koreografer
dan teaterawan antara lain Ery Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati
Suryodarmo dan Katsura Kan, Miroto, Cok Sawitri, Toni Broer &
Katia Engel, Jarot B Darsono, Yusril Katili dan Anwari menafsirkan
hal-hal yang berkenaan dengan “pengembaraan” dan
mementaskan karyanya di panggung Aksobhya, Borobudur. Kami
membebaskan mereka menafsirkan migrasi. Migrasi bukan
hanya berarti sebatas migrasi fisik tapi juga migrasi ruhani. Sebuah
pelawatan dalam jiwa.
Demikianlah. BWCF adalah sebuah festival bersama. Sebuah
hajatan dan kenduri bersama. Festival ini masih kecil dan
masih ingin terus berkembang. BWCF membuka diri kepada
banyak pihak untuk berpartisipasi meluaskan progam-progam
BWCF. Terutama dengan hal-hal yang berkaitan tema-tema literasi
klasik nusantara yang menjadi perhatian BWCF selama ini.