Pandemi COVID-19 tidak hanya membawa perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga memicu transformasi signifikan di dunia kerja. Fleksibilitas kerja, perubahan ini terutama terasa dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) dan struktur organisasi.
Tekanan eksternal pasca-pandemi memaksa perusahaan untuk terus beradaptasi, merancang strategi baru, serta membangun daya tahan yang kuat. Namun, sekadar bertahan tidaklah cukup, karena untuk mencapai kesuksesan jangka panjang, organisasi harus mampu berkembang lebih baik dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan.
Fenomena Quiet Quitting mulai banyak didiskusikan semenjak Pandemi Covid-19. Istilah tersebut mengacu pada sikap negatif individu yang diam-diam menarik diri dari keterlibatannya dalam organisasi atau tempat kerja. Perilaku Quiet quitting diantaranya dipicu oleh beban kerja yang berlebihan yang mengakibatkan kelelahan mental dan fisik.
Penelitian tentang quiet quitting yang dilakukan oleh Ignatius Soni Kurniawan, Eko Yulianto, Hilmi Hamid, Fauzan Dwi Ardiyanto, Eduardus Kresna Pamungkas, Hasanul Nasif Alfikri, dan Alfreda Bagus Prasetyo berfokus pada karyawan swasta di Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkap bagaimana beban kerja memengaruhi perilaku quiet quitting pada Generasi Z, dengan kelelahan emosional sebagai variabel mediasi. Temuan penelitian dipresentasikan dalam CSR 2024 7th International Conference on CSR & Sustainable Development, yang diselenggarakan oleh Universitas Janabadra pada 10-11 Juni 2024. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja tidak secara signifikan memicu quiet quitting. Responden yang mayoritas berasal dari Generasi Z cenderung memiliki antusiasme tinggi dan kemampuan beradaptasi yang kuat, sehingga beban kerja tidak langsung memengaruhi perilaku tersebut. Namun, tekanan pekerjaan terbukti berperan besar dalam meningkatkan kelelahan emosional. Ketika tekanan berlangsung terus-menerus, hal itu dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan kelelahan mental, yang pada akhirnya berisiko mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Kelelahan emosional memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap quiet quitting, di mana individu yang merasa terkuras secara emosional cenderung kehilangan motivasi dan mengurangi keterlibatan dalam pekerjaan. Mereka mungkin memilih untuk mundur secara diam-diam sebagai upaya untuk menghindari stres yang berkelanjutan. Analisis juga menunjukkan bahwa kelelahan emosional memediasi hubungan antara beban kerja dan quiet quitting, memperkuat kecenderungan disengagement jika beban kerja tidak dikelola dengan baik. Manajemen beban kerja dan perhatian terhadap kesehatan mental karyawan sangat penting untuk mencegah dampak negatif pada produktivitas dan kepuasan kerja, terutama di kalangan pekerja muda. Oleh karena itu, organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan kerja-kehidupan untuk mengurangi kelelahan emosional dan dampaknya pada disengagement.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel lain, seperti konflik antara pekerjaan dan keluarga, guna memperdalam pemahaman tentang faktor-faktor yang memengaruhi quiet quitting.
Penulis: Ignatius Soni Kurniawan, Eko Yulianto, Hilmi Hamid, Fauzan Dwi Ardiyanto, Eduardus Kresna Pamungkas, Hasanul Nasif Alfikri, dan Alfreda Bagus Prasetyo