Kelompok Sineas Muda Al Imdad
BANTUL – SPJ – Selama bulan Juli hingga September ini Paguyuban Sineas Bantul berkolaboorasi dengan program dari Dinas Kebudayaan Bantul menyelenggarakan workshop pembuatan film fiksi bertema kebudayaan di Kabupaten Bantul. Diikuti oleh 60 peserta dibagi dalam 12 kelompok anak muda didampingi dan melibatkan lebih dari 25 orang sineas di Bantul.
Sesi pembukaan sekaligus pembekalan dilakukan di Ross In Hotel pada hari Kamis, 13 Juli 2023 menghadirkan narasumber Tedi Kusyairi, Agung Lilik Prasetyo dan Lina Rohmawati. Mereka beriga membekali proses pembuatan film dari awal hingga akhir.
Dalam hal tema terkait potensi budaya Bantul demi masa depan, hampir semua peserta dan pendamping tidak menemukan kendala berarti karena memang banyak potensi di Bantul yang bisa diangkat sebagai tema, baik yang tangible maupun intangible. Penggarapan tema budaya untuk film pun juga cukup lancar dengan peralatan dan sumber daya yang ada.
Barangkali beberapa catatan penting yang harus dicerati oleh peserta bersama pendamping adalah soal penulisan naskah dan ilustrasi musik untuk film yang diproduksi dalam workshop.
Kelompok Sineas Muda Asa Setara
Sebagaimana ditegaskan oleh Tedi Kusyairi, bahwa skenario yang baik adalah cerita yang ditulis dengan struktur sastra yang bagus, dan kedua soal ilustrasi musik, jika merunut film ini berbasis budaya yang ada di Bantul, maka pembuatan ilustrasi musik orisinil manjadi tantangan tersendiri. Lebih khusus Tedi menjelaskan kalau bisa membuat musik dari gamelan.
“Orisinalitas musik sering menjadi tantangan, saat membuat film, kita tidak tertantang untuk membuat musik sendiri, dari alat musik tradisional yang ada disekitar kita, PR ini tentu harusnya sudah muncul sejak menulis skenario cerita filmnya, dan menurut saya film yang baik dimulai dari skenario yang baik, skenario yang baik bermula dari sastra yang baik, ini mengedepankan artistiknya, bukan hanya penggalian ide cerita berbasis budaya yang dipaksakan, tetapi mengalir dalam logika nalar hati sebelum cerita film dituliskan,” terang Tedi Kusyairi.
PR pertama mengenai sastra, sekiranya tidak semua peserta bahkan pendamping mendalami sastra, misalnya dengan pandai menulis puisi, cerpen, novel atau naskah teater. Ini sudah merupakan tantangan tersendiri, bahkan jika ditanyakan seberapa banyak mereka membaca karya sastra? Mungkin mereka membaca, namun kualitas resapannya masih bisa ditanyakan.
Mengenai naskah film berbasis sastra ini memang perlu treatment yang lama, mengingat cara mengasah talenta seseorang memiliki kendalanya sendiri-sendiri, belum lagi menyoal keterdiaan bahan bacaan sastra berkualitas yang bisa menjadi litertur para peserta untuk membuat film.
Kelompok Sineas Muda Udwala SMKN 1 Bantul
PR kedua mengenai ilustrasi musik berbasis gamelan tradisional, ini lebih rumit lagi, karena seni karawitan kini makin jarang disentuh oleh anak muda. Jika sebelumnya mereka pernah mempelajari nggamel, mungkin ini bisa menjadi entri point tersendiri sebagai bekal untuk mengaransemen gamelan Jawa sebagain ilustrasi film. Dalam dunia film kmersiao di bioskop hal ini sudah menjadi bagian serius yang harus digarap oleh seorang produser film, dimana film mengenai Jawa jika diiringi dengan ilustrasi musik gamelan akan lebih mengena bagi masyarakatnya. Film layar lebar Hanung Bramantyo pasti melibatkan pengrawit profesional untuk mengiringi adengan budaya Jawa.
Hal tantangan kedua ini juga perlu treatment yang kontinyu untuk para peserta workshop film, artinya jauh-jauh ahri pengayaan mengenai keterampilan pengrawit gamelan menjadi bagian yang patut dikenalkan bagi peserta workshop membuat film berbasis budaya Bantul.
Sekiranya treatment kegiatan semacam ini bisa ditarik mundur waktunya untuk dipersiapkan jauh-jauh hari, mungkin hasil film workshop akan menjadi bagian yang indah sebagai produk hasil budaya Bantul yang patut dibanggakan, semoga kelak hal ini bisa diwujudkan perlahan.
Oleh Bakti Saputra (Calon Ketua Paguyuban Sineas Bantul terpilih).