Berbicara tentang negara Indonesia pasti tidak akan terlepas dari 4 konsensus dasar yang dimilikinya. Empat (4) konsensus dasar tersebut terdiri dari Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Empat konsep yang menjadi landasan dalam membangun bangsa dan negara. Pemerintah (dalam arti luas-pen) telah banyak berkoar-koar untuk melakukan sosialisai 4 konsensus dasar ini. Dana yang digelontorkan pun tak main-main milyaran rupiah. Karena 4 konsensus dasar ini memang sangat penting untuk tetep menjaga kesatuan dan keutuhan NKRI.
Dewasa ini kita disibukkan dengan giringan politik yang mengharuskan kita ikut serta membicarakannya. Pilkada DKI, kasus panas antara lembaga negara KPK dan DPR, kasus-kasus yang selalau ada seolah para pemimpin adalah bintang film yang berlaga dan rakyat sebagai penikmatnya. Kita sering kali digring ke isu-isu baru untuk masalah yang tidak ingin dikupas oleh para ‘Yang Mulia Wakil Rakyat’.
Politik saat ini masih menghalalkan segala cara, norma, hukum, kepentingan rakyat akan tergerus oleh kepentingan-kepentingan para gembong suara rakyat. Saya bingung disini mereka gencar-gencar melakukan sosialisasi 4 pilar sebagai konsensus hidup berbangsa dan bernegara akan tetapi seolah lupa bahwa mereka pun perlu di beri sosialisasi mengenai 4 hal tersebut agar mereka tidak lupa intuk siapa mereka bekerja. Lalu pertanyaannya siapa yang harus melakukannya? Mentri? Presiden? Bukan mereka, tapi rakyat yang perlu mensosialisasikan 4 konsensus itu kepada ‘Yang Mulia’. Mengapa rakyat? Diskusi yang tadi saya ikuti telah membuka mata saya bahwa usur politik tidak akan terlepas dari kegiatan mereka. Terlepas saat ini oposisi berada di Senayan akan tetapi unsur politik tidak mampu untuk menghapusnya. Beberapa pertanyaan kritis timbul dari diskusi 4 konsesus yang diselengarakan MPR RI dengan BEM UGM. Pertanyaan yang muncul karena kegelisahan menyambut Indonesia Emas di tahun 2045. Salah satu kutipan pertanyaan yang masih terngiang di telinga saya adalah “lalu mengapa para yang terhormat masih sibuk mengusik asal usul kami apakah kami Jawa, Sunda, Papua, atau Aceh, Kalimatan, Dayak, atau manapun. Kami sudah bisa memiliki siasat untuk menghapus isu SARA dengan rasa Bhineka Tunggal Ika. Lalu mengapa harus mengusik usik itu” pertanyaan yang membuat decak kagum semua hadirin termasuk saya. Diskusi berbobot ini harusnya dilakukan oleh para rakyat sebagai pembicara dan ‘Yang Mulia’ sebagai peserta agar aspirasi dari bawah itu tertampung.
Empat pilar dikatakan tidak boleh digunakan karena Pancasila itu merupakan sumber dari segala sumber hukum. Jadi istilah yang tepat adalah 4 konsensus dasar. Saya rasa itu memang logis, dan tidak mengurangai esensi dari nilai keempat konsensus tersebut. Tokoh-tokoh yang luar biasa yang dihadirkan seperri Bapak Hidayat Nurwahid wakil MPR RI dan angota MPR lainnya.
Di akhir tulisan ini saya akan mengutarakan, mengenalmu, kegelisahan yang menghampiri saya atas kondisi negeri ini. “Sebetulnya tadi saya mau bertanya tapi tidak diberi waktu. Kalau diijinkan yang akan saya tanyakan adalah; Saya sebetulnya bertanya tapi saya tidak bertanya, pasti Anda bingung dengan perkataan saya. Nah itulah yang saya rasakan saya bingung dengan keadaan negeri ini. Obat dari sebuah penyakit adalah berita ‘Bebas Dari Status Tersangka’. Negara ini hebat tidak seperti negara-negara diluar sana. Di sana di negara yang tidak sekaya Indonesia kalau ada orang yang terindikasi korupsi saja sudah mengundurkan diri dari jabatannya. Akan tetapi di negeri yang subur dan kaya ini ada maling berdasi di bela mati-matian. Sakit saat dikatakan tersangka dan sembuh saat di undang ke Istana. Lalu 4 konsensus hanya Rakyat yang diminta menjaga lalu para ‘Yang Mulia’ mensosialisaikan saja. Jika rakyat dibebani tangung jawab besar dan ‘Yang Mulia’ malah ‘lepas tangan’ mungkin suatu saat rakyat pun akan lelah. Lelah selalu melihat drama dari para penguasa yang berakting untuk melenggangkan masa jabatannya. Diakhir tulisan ini saya menuliskan bahwa untuk bisa menuju Indonesia Emas kita perlu bekerja, bersama menaruh kepercayaan kepada semua tidak perlu berburuk sangaka tidak perlu menguak asal usul dari mana agama apa warna kulit apa. Tapi kita adalah Indonesia dengan segala kebhinekaannya. Rasa sukur kita atas 72 tahun merdeka haruslah kita sambut sebagai hadiah Tuhan Untuk negeri tercita. Mari kita jaga keutuhan negeri kita dengan 4 konsesus dasarnya.
Opini Ditulis Oleh Restu Aji, Mahasiswa yang lahir di Bantul 23 September 1996, tinggal di Jerukan Ponggok Sidomulyo Bambanglipuro Bantul, dari blog; http://restuajiembantul.blogspot.co.id/, Kamis, 02 November 2017.