JAKARTA – Selama tiga hari, dari tanggal 23-25 November 2017 Borobudur Writers & Cultural Festival 2017, hadir kembali. Kali ini mengangkat tema ‘Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara’. Perhelatan yang merupakan upaya mengangkat khazanah pengetahuan dan peradaban nusantara ini akan dihadiri pelbagai pihak, antara lain para budayawan, akademisi di dalam maupun luar negeri, peneliti, jurnalis, penulis, novelis, penyair, seniman, musisi, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Setiap perhelatan BWCF selalu hadir tidak kurang 350 orang untuk saling bertukar pemikiran, bertukar karya buku, dan yang tidak kalah penting adalah memperkukuh persahabatan di antara sesama. BWCF 2017 diselenggarakan di Yogyakarta dan Magelang.
Menurut Imam Muhtarom salah satu kurator BWCF, acara diawali di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta. Selanjutnya di Hotel Manohara, dan pentas seni di Taman Aksobya, Lapangan Kenari di Kompleks Candi Borobudur, Magelang. Dan diakhiri di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Pada pehelatan BWCF ke-6 kali ini akan digelar pelbagai acara.
“Ada seminar, pentas kolaborasi tari-rupa-musik, musik, pembacaan puisi, meditasi pagi, pemutaran film, pameran foto, pesta buku, dan pemberian penghargaan,” ungkap Imam dalam rilisnya (14/11).
Seminar diselenggarakan dua hari. Tema sentral dari seminar ini adalah soal keberagaman dalam hal berkeyakinan. Pada hari pertama mengangkat tema ‘Gandawyuha dan esoterisme Borobudur’. Gandawyuha muncul dalam relief sebanyak 460 panel di lorong 2, 3, dan 4 Candi Borobudur. Dalam Gandawyuha terdapat kisah Sudhana yang menjalani laku menggapai pencerahan tertinggi dalam KeBudhaan. Sudhana berguru kepada banyak guru, baik dari kalangan Bhikku dan orang-orang biasa. Sesi ini membahas Gandawyuha sebagai bagian bangunan Candi Borobudur dalam kaitannya dengan Budha dan Gandawyuha yang membabar kisah Sudhana meraih pencerahan teringgi dalam KeBudhaan.
Sesi selanjutnya ‘Dari Katholik, Konghucu, Budha hingga Islam Nusantara’ akan membahas dialog dalam tataran teologi dari agama Katholik, Buddha, Islam Nusantara dan Konghucu. Dalam sesi ini agama selalu membangun dialog dengan konteks budaya, dengan keyakinan lain, dalam rangka mencari kebenaran. Dalam pencarian itu tersirat kuat adanya keberagaman.
Sesi selanjutnya dalam ‘Pengalaman Ketuhanan Penghayat dan Religi Nusantara’ membahas adanya agama-agama yang ada di nusantara. Agama yang tumbuh secara lokal, tetapi juga meluas secara mondial. Mereka adalah Parmalim, Kejawen, Sunda Wiwitan, Lamaholot, Marapu, Kaharingan, dan masih banyak lagi. Dalam konteks keberagaman, nusantara tampak sebagai taman bunga keyakinan.
“Topik utama Gandawyuha dalam seminar mendapat penguatan dengan hadirnya pameran foto. Pameran ini memajang foto-foto Muarajambi dan Nalanda. Dua tempat ini saling berhubungan dalam konteks Buddha dan Gandawuha yang berasal dari India. Demikian juga pemutaran film mengenai Situs Muarajambi di Jambi sebagai pusat agama Buddha sejak abad 6 Masehi. Selain itu, ada pameran naskah kuno dari Bali yang membahas Gandawyuha dan naskah kuno lainnya,” jelas Imam.
Pentas seni akan menampilan rangkain kolaborasi seni rupa-tari-musik, pembacaan puisi, dan pentas tari. Secara tematik pentas ini merupakan berkaitan dengan tema utama festival ini, yaitu pencarian kepada hakikat tertinggi dari kehidupan. Dan pada saat yang sama merayakan adanya keberagaman di dalamnya.
Di ujung perhelatan BWCF 2017 akan diserahkan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada sosok yang selama ini mendedikasikan diri dalam penelitian Candi Borobudur, tempat Gandawyuha terpatri 1.000 tahun lebih. Penghargaan ini merupakan apresiasi kepada mereka yang dengan setia melakukan penelitian Candi Borobudur. Penelitian ini dianggap menambah khazanah berharga bagi peradaban nusantara.
Dalam BWCF 2017 ini akan tampil Salim Lee (ahli sutra Gandawyuha), Noerhadi Magetsari (arkeolog), Agus Widiatmoko (arkeolog), Niken Wirasanti (arkeolog), Sudrijanta, SJ (romo), Bhikku Santacitto, Oman Fathurahman (filolog), Sudiarto (peneliti/aktivis), Tedi Kholilludin (peneliti), Mikhael Keraf (peneliti/aktivis/romo), Hadi Utomo (peneliti), Ferry Wira Padang (peneliti/aktivis), Laura Romano (aktivis penghayat), Dewi Kanti (aktivis/penghayat), harles Lamaberaf (peneliti), Maria Darmaningsih (penari), Nungki Kusumastuti (penari), Hanafi (perupa), Yudhi Widyantoro (yoga), Nyoman Sudewi (penari), Tony Prabowo (musisi), Acep Zamzam Noor (penyair), Yudhistira ANM Massardi (penyair), Jefriandi Usman (penari), Iwan Dadijono (penari), Kelompok Kobagi (tari), Band Lamalera (musik).
Sekedar mereview, BWCF 2017 merupakan perhelatan BWCF ke-6 semenjak diadakan pada 2012. BWCF 2012 mengangkat tema ‘Memori dan Imajinasi Nusantara’, BWCF 2013 mengangkat tema ‘Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, antara Kolonial dan Poskolonial’, sedangkan BWCF 2014 mengangkat tema ‘Ratu Adil, Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara’, BWCF 2015 mengangkat tema ‘Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara’, dan BWCF 2016 mengangkat tema ‘Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara’.
Perhelatan kebudayaan yang dilakukan berturut-turut ini dimaksudkan semata untuk meningkatkan marwah kebudayaan nusantara. Kebudayaan di nusantara ini merupakan budaya yang terus-menerus hidup dalam proses saling negosiasi di antara beragam pengaruh yang ada. Dalam proses tawar-menawar dan berlangsung ribuan tahun itu terdapat jejak yang masih dilacak untuk mencari garis evolusinya. Cakupan kebudayaan di Asia Tenggara ini merentang sebelum masehi hingga kini.
Harapannya, posisi BWCF untuk menelisik kembali dan membincangkan kembali peradaban di nusantara. Dalam BWCF segala topik mengenai nusantara menjadi penting dan berguna alam menyusun lanskap peradaban nusantara.
“Pada titik ini diharapkan menimbulkan kebanggaan, penghormatan, pemeliharaan, dan pemanfaatan bagi kehidupan yang lebih baik bagi kebudayaan di Nusantara,” pungkas Imam. (ehd)