sebagai Terapi Preventif Osteoartritis Melalui Teknologi Nanoemulsi
Gambar 1. Anggota Tim PKM-RE Peek a Boo
Osteoartritis (OA) adalah penyakit tulang yang menyerang berbagai sendi, termasuk sendi lutut, dan menjadi penyebab utama morbiditas, keterbatasan aktivitas fisik, serta kecacatan. Pada tahun 2020, jumlah penderita OA di dunia mencapai 595 juta jiwa atau 7,6% populasi, sementara di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 55 juta jiwa atau 24,7% populasi. OA disebabkan oleh faktor usia, jenis kelamin, genetika, dan ras, serta diperparah oleh malposisi sendi, infeksi, obesitas, dan sindrom metabolic. Pengobatan OA lutut saat ini menggunakan obat farmakologis seperti analgesik dan antiinflamasi nonsteroid (NSAID), tetapi obat-obat tersebut dapat menimbulkan efek samping dan ketergantungan. Bedah adalah metode pengobatan yang paling efektif, tetapi tidak semua pasien dapat menjalani prosedur ini.
Berangkat dari permasalahan tersebut, di bawah bimbingan drh. Retno Murwanti, M.P., P.hD Tim PKM-RE Peek a Boo yang diketuai oleh Rima Arvisya Natania Putri dari Biologi Angkatan 2022 dengan anggota Regina Nilamsari, Reny Ras Ninta Br Tarigan, Widha Nur Yuliharjanti, dan Felicia Averine mengembangkan terapi yang mampu mencegah terbentuknya OA. Terapi ini melibatkan pembuatan nanoemulsi ekstrak fermentasi kacang kara benguk (M. pruriens). Nanoemulsi merupakan teknologi nanomedis yang mampu meningkatkan bioavailabilitas, stabilitas termodinamika, perlindungan dari degradasi, dan peningkatan absorbsi senyawa makromolekul.
Gambar 2. Koleksi Sampel Mucuna pruriens
Rima dan anggotanya memanfaatkan kacang kara benguk karena spesies ini merupakan komoditi lokal Indonesia yang potensinya belum dimaksimalkan. Spesies ini diketahui memiliki kemampuan meningkatkan aktivitas antiinflamasi dan antioksidan, berkat kandungan senyawa metabolit sekundernya seperti flavonoid, alkaloid, fenol, dan terpenoid, yang dapat membantu mencegah pembentukan dan perkembangan OA. Sampel kacang dan tempe yaang telah dikoleksi dari Kabupaten Kulon Progo, kemudian diubah menjadi tiga sediaan ekstrak meliputi ekstrak kontrol, ekstrak kacang kara benguk terfermentasi L. plantarum dan L. casei, serta ekstrak tempe kara benguk. Setelah dilakukan pengujian terhadap aktivitas antioksidan dan kadar flavonoid total, maka diputuskan ekstrak tempe kara benguk yang akan menjadi bahan baku nanoemulsi.
Setelah formulasi nanoemulsi, Rima dan tim kemudian melakukan pengujian organoleptik, pH, viskositas, PSA, dan PDI untuk memastikan sediaan telah memenuhi syarat obat oral. Adapun untuk menganalisis efektivitas sediaan, tim ini menggunakan Rattus norvegicus yang terinduksi OA dengan memanfaatkan ezim papain. Selanjutnya, hewan uji dianalisis dengan metode pengukuran diameter lutut, Walking Track Analysis, analisis radiografi, analisis histopatologis, dan analisis produksi sitokin proinflamasi dengan metode ELISA.
Gambar 3. Pengujian Efektivitas Nanoemulsi dalam Pencegahan Osteoartritis
Rima menyampaikan bahwa hasil yang diperoleh timnya menunjukkan bahwa nanoemulsi kacang kara benguk dengan konsentrasi 100mg/mL, 200mg/mL, dan 400mg/mL secara signifikan mampu mencegah terbentuknya OA. Bersama dengan dosen pendamping, Rima berharap hasil penelitian yang ia dan tim lakukan dapat meningkatkan nilai guna kacang kara benguk melalui standarisasi nanoemulsi, mengembangkan nanoemulsi yang mampu mencegah terbentuknya OA, dan menjadi sumber informasi terbaru terkait pemanfaatan kacang kara benguk untuk terapi OA.
Rima Arvisya, mahasiswa UGM.