Anda berada di
Beranda > Opini > Sekalipun Pelatihnya Tetap Luis Milla, Indonesia Tetap Jauh Dari Harapan Untuk Bisa Juara Piala AFF 2018

Sekalipun Pelatihnya Tetap Luis Milla, Indonesia Tetap Jauh Dari Harapan Untuk Bisa Juara Piala AFF 2018

Timnas Indonesia menjalani latihan di National Stadium Singapura (foto: ist.)

SLEMAN – Dalam wawancara eksklusif SPJ.com dengan Andi Yusuf Bachtiar atau yang biasa disapa Bung Ucup, pengamat sekaligus komentator televisi sepakbola nasional, timnas Indonesia diyakini tetap tak akan mampu berbicara banyak di panggung Piala AFF 2018 yang baru saja usai beberapa waktu lalu, sekalipun tampuk kepelatihan masih dipegang oleh Luis Milla, yang sukses membawa Indonesia U-23 mencapai babak Perempatfinal pada perhelatan Asian Games Jakarta-Palembang bulan Agustus lalu.

Berikut selengkapnya wawancara eksklusif Crew SPJ.com, Azka Qintory, dengan Andi Yusuf Bachtiar, yang ditemui dalam acara Gala Dinner salah satu festival film belum lama ini.

Selamat malam bung Ucup, Bagaimana melihat penampilan timnas Indonesia di Piala AFF kemarin?

Ya, kita sudah bisa prediksi bahwa penampilan timnas akan gitu-gitu aja kan. Persiapan gak cukup. Klo gak salah kan habis Asian Games kan masih belum jelas kita akan punya tim untuk AFF atau enggak. Biasanya kan persiapan negara-negara Asean buat AFF udah lumayan panjang.

Kemudian bulan September setelah Asian Games juga masih belum jelas, nah baru bulan Oktober diputuskan siapa pelatih timnas. Itu sebenarnya udah menggambarkan klo kita gak akan kemana-mana.

Pertandingan pertama, ya Bima Sakti… dengan segala hormat ya, mungkin kemampuannya ya emang segitu doang. Tapi kan kita gak bisa sepenuhnya salahin pelatih juga. Dia kan gak pernah melatih tim. Klo gak salah lisensinya juga blm lisensi pertama. Dan tiba-tiba dia memegang tanggung jawab yang sangat besar kan. Bahkan assisten dia sendiri pun ya temen-temen dia aja. Itu kan sebenarnya udah nunjukkin klo dia gak bisa bawa orang yang level-nya lebih tinggi dari dia untuk ada disitu. Dan kita harus terima kenyataannya bahwa yang bisa dia kasih cuman segitu aja. Tantangan Bima Sakti kan pasti sangat besar, tapi kita gak bisa sepenuhnya salahin dia, karena persiapannya juga gak ada.

 

Seandainya pelatihnya masih Luis Milla, apakah hasilnya akan berbeda?

Ya klo keadaannya baik-baik aja ya. Dari selesai Asian Games dia langsung persiapan. Ya minimal kita masih bisa masuk ke semifinal lah.

Luis Milla itu klo menurut saya dia bisa bikin timnya kan. Dia pelatih bagus sih, ketika dia pilih pemain, dia pengin ada “tanda tangan” dia dsitu. Kan setiap pelatih punya cara sendiri, Mourinho punya cara sendiri, Ferguson punya cara sndiri. Nah dia pengin ada cara main dia gitu.

Masalahnya pemain Indonesia ini, hehe… lha passing-passing aja masih suka salah kok. Jadi gak sampai tuh visi-nya Milla yang jauh itu dikasih ke orang-orang (pemain Indonesia) ini. Dia dapetnya ya pemain Asian Games itu lah kurang lebih.

Klo kita lihat Peter White, (Alfred) Riedl, dia ikutin aja level pemain Indonesia ya cuman segini, lha dia minta pemain mainnya ya segitu aja, dengan taktik yang kemudian dia terapkan. Klo itu (Riedl-White) dibilang salah ya enggak juga, setiap pelatih pasti punya ego-nya masing-masing.

Jadi klo pertanyaannya klo pelatihnya Luis Milla apakah hasilnya akan lebih baik, menurut saya sih paling enggak cuman semifinal sih.

 

Klo untuk target juara? Kan Indonesia ditargetkan bisa juara AFF nih?

Ah enggak, jauh. Indonesia masih jauh kok sama Thailand. Thailand itu enam pemain gak dateng kan. Selalu kita bilang mereka turun dengan tim kedua. Mereka tetap turun dengan tim pertama kok. Dan klo kita lihat pertandingan kmren (Thailand 4-2 Indonesia, penyisihan grup B Piala AFF 2018, red), mereka sih sebenarnya mainnya kurang bagus aja, tapi mainnya sangat sepakbola. Mainnya mekanik. Main sepakbola yang bener jaman sekarang kan mainnya mekanik. Terus klo temen bilang itu mainnya “matematik”.  Pake Strategi. Kita bisa lihat 4-3-3 ada sistemnya seperti itu. Nah pemain kita kan belum sampe situ ilmunya, dan praktis mereka (Thailand) masih paling kuat di kawasan Asia Tenggara ini. Bahkan (2) tahun lalu aja ketika main di GBK kita menang 1-0, wah saya masih mikir, klo Thailand nge-gas dikit wah lewat kita. Dan itu terjadi di leg kedua.

 

Apakah masalah di tubuh PSSI (termasuk dengan masih menggelar kompetisi Liga ketika Piala AFF berlangsung) juga memegang peranan di penampilan timnas?

Klo ngaruh sih harusnya ada ya. Klub-klub kan resistence (pertahanin pemainnya, red) kan, (timnas) ngambil pemain-pemain dari klub. Kapan gitu klo gak salah tahun lalu, tiap klub cuman boleh ngizinin dua pemainnya untuk ikut timnas. Sebenarnya kan masalahnya di penjadwalan kan. Penjadwalan ini fokusnya mau apa. Klo eropa kan selalu bikin jadwal, selesai selalu di bulan Mei. Karena kan di musim panas mereka libur. Klo misalnya musim panas libur kan mereka punya Euro punya Piala dunia, jadi kan mereka jelas gitu fokusnya. Klo kita kan enggak. Klo di kita Asia Tenggara ini kan fokusnya cuman Piala AFF. Kan mana ada negara Asia Tenggara main di Piala Dunia. Gimana mau main di Piala Dunia, di Asia aja kalah melulu. Tim AFF yang kuat gitu aja dikalahin sama Jepang, sama Australia gitu. Nah jadi maksudnya tujuan kita ya AFF itu aja. Jadi harusnya kompetisi berhenti sebulan lah. Atau dua bulan lah paling jauh, sebelum AFF mulai. Jadi kita masih punya tim yang solid. Timnas ini sebenarnya ya di AFF ini. Sea Games kan U-23, tim junior semua gitu. Jadi fokusnya harus yang itu (senior). Tapi yang U-16 itu… itu pembinaan kali bukan prestasi, U-16, U-19 itu pembinaan. U-23 udah dikit lagi. Jadi menurut saya ya itu tadi. Jadi PSSI itu harusnya bisa bikin jadwal yang tahu tujuan mereka kemana sih sebenarnya. Muara dari kompetisi kan pasti timnas.

 

Klo kita melihat kan U-16 kmren juara AFF U-16, U-19 bisa nyaingi Jepang di Piala AFC, terus U-23 bisa sampai perempat final Asian Games, lalu menurut anda kenapa mereka mainnya semakin menurun ketika menuju ke jenjang senior?

Klo saya sih ngelihatnya berbeda ya. Karena klo di usia muda kan mereka selalu diminta menang. Mental kita kan gitu tuh, anak kecil-kecil suruh menang. Kemarin itu U-8 kalah dilemparin coba. Itu anak kecil-kecil coba. Mereka masih jauh lebih berkembang. Usia pembinaan lah.

Mungkin begini, klo buat kita itu… jadi juara SEA Games itu suatu pencapaian kan. Tapi klo buat Malaysia misalnya waktu itu juara SEA Games 2011, itu bagi mereka cuma dijadikan pemanasan doang nih. Karena empat hari kemudian mereka ngelawan Qatar buat Pra-Olimpiade, jadi maksudnya ini (SEA Games)  kan cuman regional, itupun juga tim junior. Ada step yang lebih panjang ketika mereka dewasa.

Nah kebanyakan pemain-pemain junior kita… bukannya lebih bagus sih, cuman kan mereka diminta untuk menang kan. Sementara mereka (Malaysia) disana diminta untuk bermain di sistem yang bener.

Klo melihat U-19, saya sebenarnya gak melihat U-19 ngimbangin jepang sih sebetulnya. Cara main kita mah kalah jauh. Kebobolannya emang gak banyak. Tapi klo cara main kita kalah jauh. Karena mereka bermain lebih sistem, bermain dengan cara yang bagus, karena kan pembinaan dari kecilnya udah betul. Kompetisinya jalan, akademinya jalan, semuanya jalan. Jadi kan responnya di prestasi timnya itu kan bisa dinamis terus sampai ke senior gitu kan.

Sekarang pertanyaannya… Putu Gede, Evan Dimas, Hansamu Yama, kan juara AFF U-19, yang ngadepin Thailand waktu itu. Kan pemain yang sama bisa ketemu tuh kmren. Saya gak apal sih tapi pasti ada lah kemarin. Nah ketika di atas lapangan, pemain-pemain itu udah diatas kita semua level-nya. Klo masyarakat umum kan nyalahin karena main iklan Sosis lah dan segala macem, buktinya Cristiano Ronaldo main iklan shampoo banyak, sama aja. Jadi bukan itu. Karena sistem belajarnya waktu kecil udah bener kan. Nah ketika senior mereka udah tinggal nikmatin aja. Kan belajarnya betul tuh.

AFF itu klo gak salah pembinaannya udah jalan bener dari umur 9. Klo buat orang eropa udah telat, klo eropa dari umur 6 atau 7 tahun. Klo Indonesia kan enggak, pelatih Indonesia bisa bilang “nih pemain umur 16 tahun nih, bagus nih. Klo udah umur 22 dia berhenti sudah. Gak kemana-mana. Bagusnya udah di umur 12 doang.

 

Apakah mungkin tekanan dari masyarakat juga berpengaruh, dimana ketika sedari kecil mereka sudah menang, maka seterusnya mereka akan diminta untuk menang?

Mungkin ada juga sih. Tapi bukan melulu soal itunya sih. Jadi ketika anak-anak ini menang-menang mereka kan jadi kayak superstar semua kan. Kita sebut nama aja deh, Egy Maulana. Superstar banget tuh, udah kayak Maradona dia. Punya pacar aja belum kalik. Mungkin masih perjaka tuh orang. Artinya kepalanya disebut gede. Ketika nanti 3-4 tahun lagi, dia masih ada gak di timnas? Ini U-16 kmren bagus2 tuh ada Bagas-Bagus segala macem, lima tahun lagi mereka masih ada gak di timnas? Klo mungkin udah gak ada, mungkin itu bukan sepenuhnya salah mereka.

Dulu waktu saya kecil ada namanya Otang Aling, bagus banget itu, U-16 atau 19 klo gak salah, menang Piala Pelajar. Itu begitu di senior mereka udah gak ada. Tapi klo ngobrol sama generasi itu, “Oh ya Ada itu Otang Aling sekarang dimana ya dia?” katanya dia gak pernah main lagi ketika senior, jadi pegawai kalik di kampungnya, jadi PNS. Jadi ya seperti itu kenyataannya.

Karena mereka kan main cuman buat hobi doang, gak jadi pekerjaan. Lagian banyak orang tua yang gak pengin anaknya jadi pemain bola kan. Karena memang industrinya gak terlalu jalan-jalan amat. Belum lagi pemberitaan negatif mulu. Berantem lah, mafia lah. Gue aja gak habis pikir klo ada mafia, maksudnya ya mungkin sih mafia itu ada, klo ada sih langsung tunjuk aja, ribut di pengadilan. Mafia… mafia… mafia…, yang ada masyarakat jadi sibuk menduga-duga terus kan.

 

Lalu apa yang seharunya dilakukan PSSI maupun timnas untuk bisa mendapat prestasi yang lebih baik?

PSSI harusnya bikin sistem sih. Tapi gak bisa cepet. Maksudnya kita gak bisa mencanangkan sesuatu hari ini dapet empat tahun lagi. Misalnya target Piala Dunia 2022, lha itu mah omong kosong itu. Jepang aja target juara dunia aja 2050. Dengan pemain yang hari ini belum lahir kan berarti.

PSSI harusnya bisa bikin sistem yang jalan gitu, mungkin klo mereka men-setting sendiri sih terlalu gede ya, terlalu susah ya. Mereka bikin yang dari regional-regional aja. Itu mungkin bisa dikerjain, tapi kekompakannya emg harus gede. Nah punya pembinaan dari SSB, akademi, klo misalnya klub susah, bisa minta ke sekolah-sekolah, dengan level-nya masing-masing. Kan basket, NBA, MLS semua kan ngambil pemain dari kampus, nah pembinaan bisa berawal dari situ. Itu dari SMA. Ada beasiswa ada apa. Nah mungkin PSSI bisa kerjasama dengan cara itulah. Dan mungkin kita akan lebih maju. Klo untuk bakat saya pikir kita gak ketinggalan, klo bakat setidaknya kita bisa main sama Timur tengah lah. Sama Jepang dan Korea itu kan sangat mekanik mainnya. Bakat mungkin mereka biasa aja, malah bagusan kita harusnya. Klo lihat timnas Jepang kan yang punya bakat paling 3-4-5 pemain doang. Yang lainnya ya karena memang pendidikan. Dulu Ferguson pernah bilang pemain Inggris yang berbakat itu cuman Wayne Rooney di generasi itu, yang lainnya mah ciptaan sekolah. Steven Gerrard, Beckham, itu semua ciptaan sekolahan. Nah itu yang kita (harusnya) buat.

Lionel Messi itu, klo dia orang Indonesia, paling mentok main di PS Tira kalik. Hahaha… Tapi karena dia dibawa ke Bercelona dan ada di sistem yang bener dari U-9 atau U-12, nah dia jadi. Diasah di tempat yang bener. Dia kan waktu kecil udah SSB, dia udah pindah klub kok. Tapi kan gak tambah-tambah tinggi, nah pas umur 11 atau 12 dia dibawa ke eropa. Suatu hari pas dia lagi main, kan gak mungkin tiba-tiba nemuin anak cacat terus langsung diajak pergi gitu kan. Nah dia ditemuin pas lagi main di klubnya. Kan talent scout itu perginya kemana2. Dibawa kesana, dengan janji juga kan, suntik hormon apa segala macem, tapi akhirnya perginya jadi. Coba dia (Messi) itu pemain kita, yang scouting pasti gak dateng, mainnya paling di PS Tira. Pendek kecil gitu kan. Ya makanya di tempat yang bener. Pemain yang hebat itu lahir di tempat yang bener, tapi kan ya dia mesti diasah.

 

Kira-kira kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia?

Ratusan tahun lagi kalik, hahahaaa…

Kalo gak salah jatah Asia akan nambah jadi 8 pada 2026 (Piala Dunia di Amerika, Meksiko, dan Kanada, red). Sekarang kita ngomongin kekuatan hari ini aja. Ada Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Arab Saudi, Iran, Irak, Uzbeksitan. Udah delapan (tujuh) tuh. Belum di bawah itu ada Qatar, ada China, mungkin Thailand, itu aja udah sebelas. Nah target di tahun itu masuk Piala Dunia kan, nah itu aja udah 8 besar kan. Terus emang kita berpikir klo negara-negara itu gak berkembang? Hari ini aja mereka udah loncat kok, sementara kita malah gak kemana-mana. Jadi ya gapapa bermimpi, tapi dikerjain, hahaha… lha ini kan enggak. Jadi masih lama.

Ya (mungkin Indonesia bisa ikut Piala Dunia) kalo tiba-tiba negara-negara Asia pada kena kiamat, terus negara Asia tinggal ada dua, Indonesia sama Timor Leste, nah itu baru bisa lolos. Hahahaaa….

 

 

Artikel Serupa

Ke Atas