Anda berada di
Beranda > News > “27 Steps of May” Menangkan Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival

“27 Steps of May” Menangkan Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival

YOGYAKARTA – Film drama “27 Steps of May” karya sutradara Ravi

Bharwani dari Indonesia keluar sebagai pemenang Golden Hanoman award di acara

penutupan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang dilaksanakan di Jogja National

Museum, hari Selasa (4/12).

 

Golden Hanoman adalah penghargaan yang diberikan oleh dewan juri JAFF terpilih untuk

film terbaik dari kategori kompetisi film panjang Asian Feature. Drama yang dibintangi oleh

Raihaanun, Lukman Sardi dan Verdi Solaiman ini bercerita tentang trauma seorang

perempuan yang diperkosa ramai-ramai ketika masih menjadi siswi sekolah menengah. Ini

adalah film terbaru Ravi setelah membuat “Jermal” sepuluh tahun lalu.

 

Peringkat kedua dalam kategori Asian Feature diraih oleh “Nervous Translation” karya

sutradara Shireen Seno dari Filipina. Film yang bercerita tentang kondisi Filipina pasca

kediktatoran di tahun 1988 ini dianugerahi Silver Hanoman award. Film ini adalah satu dari

15 proyek inagurasi Biennale College Cinema di Venice International Film Festival 2013.

 

Film dokumenter karya Yuda Kurniawan yang berjudul “The Song of Grassroots”

memenangkan NETPAC award, sebuah penghargaan untuk sutradara Asia yang dinilai

berhasil memberi kontribusi sinematik untuk gerakan sinema baru Asia. Film ini bercerita

tentang Fajar Merah, putra bungsu penyair Wiji Thukul yang hilang setelah kerusuhan 1998.

Fajar yang awalnya enggan dihubung-hubungkan dengan sosok ayah yang tidak pernah ia

ingat, kini melanjutkan perjuangan ayahnya dengan melakukan musikalisasi puisi-puisi Wiji

Thukul dengan kelompok musiknya, Merah Bercerita.

JAFF juga memiliki Geber award, yakni penghargaan yang diberikan oleh komunitas film

dari berbagai kota di Indonesia untuk film Asia terpilih. Tahun ini, Geber award jatuh ke film

“Passage of Life” karya Akio Fujimoto yang merupakan produksi Jepang dan Myanmar. Film

ini bercerita tentang sebuah keluarga beranggotakan empat orang Burma yang tinggal di

Jepang. Cerita ini ditulis berdasarkan kisah nyata mengenai cinta yang melintasi perbatasan.

 

Film pendek terbaik di kategori Light of Asia diberikan kepada “Facing Death with

Wirecutter” karya Sarwar Abdullah dari Irak. Film berdurasi 36 menit ini bercerita tentang

tim teknisi militer dari pasukan Kurdistan Peshmerga yang mempertaruhkan nyawa untuk

melaksanakan tugas mereka sebagai penjinak bom dan ranjau yang ditanamkan oleh ISIS.

JAFF Indonesian Screen Awards terdiri dari empat penghargaan, yakni Skenario Terbaik,

Sinematografi Terbaik, Penampilan Terbaik, Sutradara Terbaik dan Film Terbaik.

 

Tahun ini, skenario Terbaik jatuh kepada “Love for Sale” karya Andibachtiar Yusuf. Sinematografi

Terbaik dimenangkan oleh Amalia T.S. untuk “Aruna dan Lidahnya.” Reza Rahadian yang

berperan di dalam film terbaru Djenar Maesa Ayu dan Kan Lume, “If This is My Story,”

memenangkan Penampilan Terbaik. Hanung Bramantyo dianugerahi Sutradara Terbaik

untuk karyanya di film “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta.” Sementara itu, Film

Terbaik jatuh kepada “Petualangan Menangkap Petir” karya Kuntz Agus yang bercerita

tentang sekelompok anak kecil yang berusaha membuat sebuah film.

 

Film pendek terbaik yang dipilih oleh murid sekolah film di Yogyakarta jatuh kepada

“Grandma’s Home” karya Nguyen Hoang Bao Anh dari Vietnam. Film berdurasi 32 menit ini

diberi penghargaan Jogja Film Student award.

 

Malam penghargaan JAFF ditutup dengan penayangan film “Thundenek (Her.Him.The

Other)” karya Prasanna Vithanage, Vimukthi Jayasundara dan Asoka Handagama dari Sri

Lanka. Film ini bercerita tentang seorang videograger mantan militan Liberation Tigers of

Tamil Eelam (LTTE) dalam perjalanannya ke Selatan untuk mencari seorang perempuan dan

juga ujian terkait kepercayaan yang ia anut.

 

JAFF ke-13 berlangsung selama delapan hari dan berhasil menayangkan 148 film dari

berbagai negara di Asia. Festival yang berlangsung di Jogja National Museum, Empire XXI

dan Cinemaxx ini mengusung tema “Disruption” dengan harapan dapat membawa para

penontonnya kepada sejumlah perspektif baru dan segar terkait identitas orang Asia. (qin)

Artikel Serupa

Ke Atas