Anda berada di
Beranda > Opini > Antara Hegemoni Jurnalistik, Relasi, dan Rasa Syukur

Antara Hegemoni Jurnalistik, Relasi, dan Rasa Syukur

Bersama Paulo Sitanggang, pemain timnas U-23, dalam persiapan menghadapi SEA Games 2015 di Singapura (Foto: Dok. pribadi)

Berbicara tentang SPJ, berarti berbicara mengenai awal mula keberadaanku di organisasi ini, serta perjalananku dalam menggapai titel Kesarjanaan.

– – – – – – – – – – – – –

Asal tahu saja, di akhir petualangan SMA saya (yang sangat istimewa, hehe), saya bersama teman-teman di kelas Bahasa diminta oleh guru untuk menuliskan Dream Paper atau papan impian, yang ingin dicapai setelah lulus SMA.

Dalam salah satu impian saya, saya menuliskan bahwa saya ingin bergabung di salah satu media (saat itu saya menulis majalah). Dengan bergabung di media tersebut, saya bisa mendapat kesempatan belajar, menemui banyak pengalaman seru, bertemu banyak relasi baru, serta tentunya belajar dari semua anggota yang tergabung disana.

Di tengah hiruk-pikuk Try Out dan ujian akhir pada awal 2013, saya mendapat tawaran untuk bergabung dengan SPJ. Walaupun saat itu saya sempat menolak karena sedang fokus ujian, tapi kemudian saya diberitahu bahwa saya bisa mulai bergabung setelah masa ujian selesai.

Setelah memutuskan bergabung dengan SPJ, tak berselang lama, saya masuk ke salah satu kampus penyiaran di Sleman. Jurusan yang saya ambil pun selaras dengan keseharian di SPJ, yakni jurnalistik.

Setelah saya analisa lebih jauh, berada di kampus penyiaran sangat butuh yang namanya relasi (damn it’s true!). Tanpa relasi, sangat sulit untuk bisa bertahan dan melakoni semua tugas-tugasnya yang amat menantang.

Ketika menekuni jurnalistik di zaman pelajar, asa itu begitu membumbung. Cukup dengan menulis, lalu tulisannya dimuat, dibaca banyak orang, dan menjadi inspirasi atau wadah perubahan bagi para pembaca. Hal itu sudah menjadi kepuasan tersendiri yang tak ternilai. Begitu sederhana.

Tapi… di zaman mahasiswa, menekuni jurnalistik tidaklah sesederhana itu. Banyak tekanan, banyak cobaan, banyak tantangan yang mesti dijalani. Sekedar dimuat saja tidaklah cukup. Membawa perubahan pun harus spesifik perubahan seperti apa yang diinginkan. Pokoknya kompleks!

Mulai menjalani liputan secara rutin pada Semester 3, saya mulai merasa ‘sedikit’ lebih unggul dibanding teman-teman kelas saya. Relasi saya jauh meningkat, jauh melebihi teman-teman, yang terlalu mengandalkan relasi di sekitar mereka yakni teman-teman kos mereka sendiri.

Saya juga sedikit menyadari, posisi saya yang kaya relasi (setelah bergabung dengan SPJ) mulai diincar oleh teman-teman saya. Jika mereka biasa mencari berita/isu lewat koran dengan susah payah dan (disambi) mengeluh, saya malah selalu dapat informasi tentang berbagai peristiwa dan kejadian yang sedang menjadi isu di Jogja dan sekitarnya, dengan begitu mudahnya.

Saya bahkan sesekali membandingkan hasil liputan saya dengan sejumlah TV atau koran yang memuat berita yang sama. Disitu saya berpikir, “ternyata saya tidak kalah dengan mereka.” Saya juga mampu menghasilkan berita dengan kualitas terbaik. Walaupun mungkin secara pengalaman, bisa dibilang saya masih cukup jauh dibandingkan mereka.

Ketika asyik melakoni liputan, suatu waktu saya mulai merasa amat lelah, badan semakin kurus, makan semakin berkurang, tapi aktivitas dan otak justru semakin terkuras habis tanpa ada jeda sedikitpun. Saya pun mulai berpikir, apakah jurnalistik memang “sekejam” ini?

Awal 2015 menjadi puncaknya. Saya mulai tidak kuat lagi, terlalu banyak beban yang harus diemban, sementara raga dan pikiran ini seperti tak kuat lagi menyangga beban tulisan yang semakin menggunung. Menulis, yang awalnya merupakan sebuah hobi yang mengasyikkan, pada masa-masa liputan seolah berubah menjadi “monster” yang begitu menyeramkan.

Periode itu juga sekaligus menandai rehat saya dari hingar-bingar dunia kampus. Saya nyaris tidak bisa berbuat apa-apa, tidak punya siapa-siapa, dan tidak tahu harus bagaimana. Yang ada hanya rasa sakit dan penyesalan, akibat ulah diri sendiri yang mungkin terlalu sibuk dengan “dunia” ini, tanpa sempat memikirkan kehidupan lain yang sebetulnya tidak kalah penting.

Semenjak itu saya mulai berpikir, apakah semua ini harus saya sudahi? Saya merasa semakin lemah, tidak berdaya, dan tidak mampu lagi menanggung semua beban yang ada.

Tapi, tunggu dulu… ingatlah relasi-relasi yang kau dapatkan dengan begitu mudahnya, sampai membuat teman-teman envy kepadaku. Padahal, seperti yang telah dijelaskan di awal, berada di kampus penyiaran sangat kental dengan urusan relasi. Sementara diriku pada saat itu baru memasuki setengah jalan masa perkuliahan. Bagi saya, sangatlah merugi jika semua relasi yang sudah saya dapatkan semenjak bergabung dengan SPJ, dilepas begitu saja… Sementara sisa semester yang ada hampir dipastikan akan membutuhkan lebih banyak relasi dibanding empat semester awal.

Jadi… yang saya putuskan adalah… rehat sejenak, mengerem sedikit aktivitas, dan memahami batasan diri sendiri, karena setiap raga memang punya batas. Mungkin pada saat itu saya belum paham akan batasan diri saya sendiri. Sehingga mengakibatkan kebablasan yang akhirnya mengundang sejumlah masalah yang tidak diinginkan.

– – – – – – – – – – – – –

Rupanya, keputusan itu tidaklah salah. SPJ sendiri yang dulunya jarang ngumpul, semenjak 2015 saya perhatikan mulai banyak mengadakan acara kumpul. Satu hal yang menurut saya juga memang perlu dilakukan. Saya perlu (dan pengin) mengenal siapa personil-personil SPJ. Karena sebelumnya saya pernah nggumun, “sebenarnya orang-orang di SPJ ini siapa aja sih?” Eh, ternyata orangnya ada si A, si B, terus bertambah. Hal ini yang saya nantikan sejak lama.

Pada akhir 2015, SPJ berkesempatan mengadakan lomba cipta-baca puisi dan cerpen se-Indonesia. Tak disangka-sangka, pesertanya mencapai ribuan orang, dari Aceh sampai Papua. Sungguh di luar dugaan! Padahal pertemuan rutin baru kami adakan beberapa kali saja. Tapi kebersamaan itu sudah (mulai) mengena di hati saya. Momen tersebut juga menjadi awal sifat kekeluargaan itu muncul, dan pertemuan demi pertemuan mulai rutin diadakan. Di sisi lain, relasi saya tetap tidak berkurang. Hanya frekuensinya saja yang sedikit direm.

Tahun 2016, relasi semakin memegang peranan penting dalam perjalanan studi saya. Bisa dibilang, para relasi ini turut menentukan nasib saya di kampus, beserta kelanjutannya, sampai hari ini.

Pada momen tersebut, (sebetulnya sudah sejak 2015 sih), saya mendengar ada namanya Aita Donuts, yang katanya bisa meng-custom donat sesuai permintaan. Lalu pada bulan Mei 2016, Aita yang dulunya hanya sebuah kios kecil di pinggir jalan, berpindah ke tempat yang lebih luas, dengan lokasi yang lebih strategis.

Disanalah kemudian SPJ banyak mengadakan acara-acara apresiasi seni, dan menyelenggarakan pertemuan rutin. Melalui ajang apresiasi seni yang diberi nama “Selasa Sastra” inilah, saya berkesempatan menemukan semakin banyak relasi dan orang-orang hebat, yang bisa diajak bekerjasama atau melakukan komunikasi lebih lanjut. Arena silaturahim itu semakin kental terasa. Dan, SPJ seperti menjadi wadah bertemunya para relasi tersebut.

Bukan hanya itu saja, Aita juga beberapa kali menjadi topik pilihan saya untuk mengerjakan tugas yang berbau feature atau kuliner. Apalagi, Aita dikenal cukup khas dengan donat-nya, jadi saya rasa Aita sangat pas untuk dijadikan sebagai bahan tugas-tugas saya. Sekali lagi, relasi di kampus penyiaran sangatlah diperlukan.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering memanfaatkan Aita sebagai lokasi pertemuan dengan para relasi, khususnya yang ada di Bantul. Pertemuan “sakral” itu kerap dimulai disana (dan inshaa Allah terus berlanjut). Dalam berbagai urusan kampus, para relasi ini sering saya libatkan, dimana Aita kerap menjadi ladang pertemuan tersebut.

– – – – – – – – – – – – –

Kembali membahas tentang SPJ. Menuju klimaks petualangan di kampus penyiaran yakni mengerjakan Tugas Akhir, saya awalnya belum memiliki niatan spesifik untuk kembali memanfaatkan para relasi Bantul ini sebagai mitra saya dalam menggarap Tugas Akhir. Namun, ketika topik awal yang diajukan ternyata belum mendapat persetujuan dosen. Pada saat itu (saat-saat penuh kebimbangan karena sedang mengejar waktu) saya langsung “lari” ke teman-teman SPJ dan para relasinya. Saya pun teringat ketika itu pernah menghadiri acara salah satu mitra SPJ di Bantul, yang selang beberapa bulan kemudian akhirnya dinobatkan sebagai Pemenang Pemuda Pelopor. Wooow!! Hebat sekali. Orang Bantul bisa menang Pemuda Pelopor tingkat nasional. Itu artinya Bantul juga tidak kalah dengan daerah-daerah lain.

Langsung saja, saya memberanikan diri untuk mengangkat kisah mereka sebagai bahan Tugas Akhir saya. Lagi-lagi, para relasi ini begitu menyelamatkan saya. Perjalanan studi saya di kampus penyiaran yang cukup berliku, diselamatkan oleh banyak kawan, khususnya kawan-kawan dari Bantul, dari SPJ.  Hal itu semakin lama semakin saya rasakan manfaat dan rasa syukurnya. Begitu luar biasa!

Jadi, bisa dikatakan, sekitar 60% perjalanan studi saya sangat ditentukan dari perjalanan saya di SPJ beserta para relasinya, yang sudah sangat membantu, mendukung, dan mensukseskan karier saya, hingga ke titik ini. Terima kasih banyak!

 

Terima kasih banyak SPJ,

Yang telah menjadi pengisi impian saya,

Yang telah banyak memudahkan kerja dan tugas-tugas studi saya,

Yang telah mengukuhkan eksistensi saya di bidang Jurnalistik (yang kemudian merambah ke bidang-bidang lainnya),

Yang telah memberi banyak kesempatan dan pengalaman yang begitu berharga, yang mungkin saja tidak bisa saya dapatkan di kampus sendiri,

Yang telah memberi saya begitu banyak relasi, untuk membantu, mendukung, dan mensukseskan karier saya, sampai saat ini,

Yang telah menjadi identitas saya, khususnya selama menjadi mahasiswa.

Yang telah “mengubah” hidup saya, sedikit demi sedikit, menjadi lebih baik, lebih bermakna, dan berguna untuk orang lain.

Di SPJ saya belajar, bahwa menjalani proses memang tidaklah mudah. Tapi justru itulah kenikmatan yang sesungguhnya, dimana kebersamaan, kekeluargaan, serta kehangatan, menjadi ciri khas yang takkan pernah tergantikan, apalagi oleh pundi-pundi penggoda, yang hanya akan menjadi pemecah belah persaudaraan kita.

Tak pernah bosan rasanya diri ini mengucap rasa syukur yang begitu besar, seraya mengharapkan hari esok yang semakin gemilang, semakin gemintang, tanpa perlu kita mengkhianati mereka, yang pernah mengisi bagian… dalam perjalanan panjang hidup kita.

Teruslah berjuang! Karena hari esok adalah tujuan.

Jangan pernah berhenti bermimpi! Karena itulah yang mendorongmu menuju masa depan yang abadi (Saya sudah membuktikannya sendiri).

Terima kasih banyak, SPJ!

 

Opini ditulis oleh M. Azka Qintori,

Selasa, 12 Desember 2017

Artikel Serupa

Ke Atas